Oleh Sarmidi Husna, Staf Sekretariat Badan Wakaf Indonesia. Baru-baru ini, Prof dr KH Tholhah Hasan menyampaikan bahwa pada dasarnya, karakter dari syariah Islam adalah dinamik dan solutif, dapat memberikan pemecahan-pemecahan masalah umat sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Oleh karena itu, sebagai orang Muslim yang mendapatkan amanah untuk mengembangkan syariah tersebut, ia harus mampu me-lending-kan syariah ini dalam kehidupan nyata dengan cara-cara yang dinamik dan kreatif. Me-lending-kan syariah sesungguhnya harus menjadi perhatian umat Islam bersama agar syariah tidak menjadi isi referensi-referensi yang tertuang dalam buku-buku besar atau menjadi pidato-pidato para juru dakwah dalam mimbar-mimbar.
Namun, bagaimana bisa mewujudkan syariah ini dalam kehidupan nyata dengan cara-cara yang kreatif dan dinamik tersebut? Inilah yang menjadi tantangan umat Islam secara keseluruhan.
Terdapat sebuah riwayat yang dapat dijadikan dasar bahwa syariat adalah dinamik dan solutif. Dua bulan sebelum meninggal, Nabi Muhammad SAW memadamkan pemberontakan yang terakhir dari suku Hawazin. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Hawazin tersebut, Nabi bersama rombongan kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan, mereka berhenti untuk istirahat di sebuah tempat yang sekarang kita kenal dengan Ji’ronah.
Di sana, Nabi berpidato di hadapan sahabat-sahabatnya, terutama tokoh-tokoh sahabat. Dalam pidato tersebut, Nabi menanyakan tiga hal untuk melakukan klarifikasi kepada para sahabat. Tiga pertanyaan Nabi yang bersifat klarifikatif tersebut sebagai berikut. Pertama, alastum dullalan fahadakumullahu bihi? (Tidaklah kalian itu dulu hidup dalam kesesatan, tetapi dengan syariah yang aku bawa ini, kalian menjadi komunitas yang hidup dengan hidayah, dengan kebenaran).
Kedua, wakuntum mutafarriqin faallafahumullahu bihi? (Kalian dulu hidup rawan konflik, sering bentrok, tetapi sekarang dengan syariat yang aku bawa kalian menjadi komunitas yang rukun dan damai).
Ketiga, wakuntum aalatan faaghnakumullah bihi? (Kalian dulu hidup miskin dan serba kekurangan, tetapi dengan syariat yang aku bawa, kalian hidup dalam kecukupan dan kaya).
Semua sahabat menjawab tiga pertanyaan klarikatif Nabi tersebut dengan jawaban benar dan mereka tidak ada yang membantahnya.
Pertanyaan Nabi di atas menunjukkan bahwa terjadi tiga perubahan dalam dakwah Nabi, yaitu perubahan atau transformasi teologis dari hidup yang sesat menjadi hidup yang benar; perubahan sosiopolitik dari hidup rawan konflik menjadi hidup penuh kedamaian; dan perubahan sosial ekonomi dari kehidupan yang miskin menjadi hidup sejahtera.
Jadi, syariah itu bukan hanya mengubah secara teologis dan sosiopolitik, tetapi juga mengubah sosial ekonomi. Artinya, syariah tidak cukup hanya mengubah sesat menjadi benar dan mengubah konflik menjadi rukun, tetapi syariah juga harus dapat mengubah hidup miskin menjadi hidup yang sejahtera.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana umat Islam bisa mengubah hidup miskin menjadi sejahtera dan bagaimana cara mengubahnya?
Sebenarnya, ibadah dan dakwah Islam itu tidak pernah lepas dari dua bingkai yang harus dipadukan: meningkatkan kualitas ketakwaan dan meningkatkan kualitas kesejahteraan. Jangan sampai ada dikotomi antara ketakwaan dan kesejahteraan.
Kenyataannya, di tengah masyarakat Muslim Indonesia sering ada ungkapan bahwa orang yang sering ke masjid biasanya adalah orang-orang yang tidak banyak memiliki uang, sedangkan orang yang banyak uang tidak rajin ke masjid. Meskipun ini hanya ungkapan biasa, seandainya ada penelitian mengenai hal tersebut tentu akan membenarkannya.
Seorang pemikir Islam dari Mesir, Muhammad al-Ghazali, pernah mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia tidak untuk menjadi manusia yang miskin, tetapi justru manusia mendapatkan mandat dari Tuhan untuk mengelola kekayaan alam ini untuk kesejahteraan hidupnya.
Tetapi, mengapa dalam kenyataannya umat Islam masih terbelenggu dalam masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan? Menurut al-Ghazali, itu karena ketidakmampuan umat Islam dalam memaknai syariah sehingga umat Islam tertutup oleh pemahamannya yang salah terhadap syariah tersebut.
Salah satu bentuk syariah Islam yang dapat mengubah bagaimana meningkatkan kualitas ketakwaan dan kesejahteraan yang lebih adalah wakaf. Ajaran wakaf adalah salah satu bentuk syariah Islam yang mengajak umatnya untuk meningkatkan ketakwaan dan kesejahteraan.
Dalam sejarah peradaban Islam, sejak awal di-tasyrik-kannya, wakaf telah memiliki peran yang sangat penting dalam langkah-langkah meningkatkan kesejahteraan sosial umat Islam pada masa itu dan masa-masa selanjutnya. Hal ini disebabkan bahwa prinsip wakaf adalah memadukan dimensi ketakwaan dan kesejahteraan. Terbukti bahwa manfaat wakaf, pada masa keemasan Islam, telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan tersohor dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Wakaf telah banyak membantu pengembangan dalam berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Biasanya, hasil pengelolaan harta benda wakaf digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan, pendidikan, pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung, dan lainnya.
Sejarah telah mencatat bahwa pada abad ke-4 H, di Istanbul (Turki) telah berdiri sebuah rumah sakit anak yang menggunakan dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Di Andalusia (Spanyol), berdiri fasilitas rumah sakit yang melayani orang Muslim maupun non-Muslim yang juga berasal dari dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Pada masa Khilafah Abasyiah, dana hasil pengelolaan harta benda wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni dan telah berperan bagi perkembangan arsitektur Islam, terutama arsitektur dalam pembangunan masjid, sekolah, dan rumah sakit.
Dalam bidang pendidikan, Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, merupakan salah satu perguruan tinggi yang sampai saat ini masih eksis karena dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Dari sini, sudah jelas bahwa wakaf telah menjadi instrumen penting dalam pengembangan peradaban umat.
Potensi wakaf di Indonesia sangat besar. Menurut data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656, 68 meter persegi atau 268.653,67 hektare yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Dari luas tanah wakaf tersebut, 40 persennya merupakan wakaf yang diperuntukkan sarana dan kegiatan ibadah.
Namun, sekian jumlah tanah wakaf tersebut belum dapat dikelola secara optimal. Pengelolaan harta benda wakaf, sebagian besar, masih bersifat tradisional. Tanah-tanah wakaf belum dikelola secara profesional sehingga manfaatnya belum dapat dirasakan. Jelas bahwa data tersebut menggambarkan betapa besarnya potensi wakaf. Kendati demikian, realitasnya masih jauh dari yang diharapkan.
Oleh karena itu, potensi wakaf yang sangat besar tersebut perlu kita gali bersama. Dengan menggali potensi wakaf ini, kita harapkan dapat mewujudkan sebuah kekuatan dana umat yang dapat memecahkan berbagai kesulitan yang menerpa bangsa ini. Sepertinya, tidak ada salahnya kalau kita meniru apa yang telah terjadi di berbagai negara yang sudah dapat mengelola wakaf secara produktif sehingga hasilnya dapat digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan sosial di negaranya masing-masing. (republika)