Meneladani Wakaf Para Sahabat Nabi Sebagai Gaya Hidup

Wakaf Sebagai Gaya Hidup Meneladani Para Sahabat Nabi

Oleh KH Anang Rikza Masyhadi, M.A

Wakaf menjadi gerakan sosial strategis: menopang keberlangsungan kelompok, provinsi, negara, bahkan peradaban. Dalam jejak peradaban Islam di mana pun pasti terdapat aset wakaf.

Zakat, infak, sedekah, dan wakaf merupakan instrumen penting dalam ajaran Islam yang bertujuan memberdayakan potensi ekonomi kaum muslimin. Akan tetapi, karakteristik zakat dan wakaf sedikit berbeda. Zakat sifatnya wajib dan menjadi rukun Islam, sedangkan wakaf bersifat sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan).

Zakat dibagikan kepada delapan golongan (asnaf) sebagaimana ditentukan sendiri oleh Allah SWT dalam surat At-Taubah [9]:60, yaitu: fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, fi sabilillah dan ibnu sabil. Sehingga zakat cenderung habis didistribusikan. Sedangkan wakaf adalah menahan aslinya dan mengalirkan manfaatnya. Asli (pokok) wakaf tidak boleh habis, harus terus dikelola sehingga manfaatnya dirasakan.

https://www.youtube.com/watch?v=r-_PhblpqLs

Pengertian wakaf adalah menahan harta, secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, baik umum maupun khusus.

Yang dimaksud menahan harta adalah seperti orang yang wakaf tanah atau bangunan, maka selama tanah atau bangunan tersebut masih ada, dapat diambil manfaatnya secara berulang-ulang untuk waktu yang tak terbatas, seperti untuk masjid, sekolah, jalan umum, dan lain sebagainya.

Wakaf Masjid Nabawi

Contoh wakaf telah banyak diketahui dalam literatur fikih maupun sejarah Peradaban Islam. Masjid Nabawi yang ada di Madinah, misalnya, dahulu tanahnya adalah milik dua anak yatim dari Bani Najjar. Semula akan dihibahkan kepada Rasulullah SAW, tetapi beliau menolaknya, mungkin karena pertimbangan ia adalah milik anak yatim yang harus dilindungi. Rasul SAW justru memutuskan untuk membelinya dengan harga 10 Dinar, yang dibayarkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Sungguh, kolaborasi yang indah: Rasul yang membeli, Abu Bakar yang membayar.

Wakaf Sebagai Gaya Hidup Meneladani Para Sahabat Nabi
Photo Masjid Nabawi

Pada zaman Nabi, luas Masjid Nabawi hanya 35 x 35 m. Setelah Perang Khaibar pada tahun 7 H, jumlah kaum muslimin semakin bertambah. Maka Masjid Nabawi diperluas menjadi 50 x 50 m. Itulah perluasan Masjid Nabawi pertama dan terakhir hingga wafatnya Nabi. Perluasan itu menuju ke sisi utara di atas tanah yang telah diwakafkan oleh pemiliknya yaitu Abdurrahman bin Auf RA, saudagar kaya raya yang menjadi sahabat setia Rasul hingga akhir hayatnya.

Selain mewakafkan tanahnya untuk perluasan Masjid Nabawi, Abdurrahman bin Auf RA yang saat itu memiliki tiga rumah, juga mewakafkan manfaat dari salah satu rumahnya itu, untuk digunakan menempatkan tamu-tamu Rasulullah yang menginap, karena rumahnya termasuk yang paling megah yang ada di Madinah saat itu. Inilah yang disinyalir sebagai jenis wakaf manfaat pertama dalam sejarah Islam.

Wakaf Sumur

Utsman bin Affan RA mewakafkan sumur yang bernama ‘Bi’ru Ruumah’, untuk dipergunakan memberi minum kaum muslimin. Sebelumnya, pemilik sumur adalah seorang Yahudi dan mempersulit warga yang mau membeli air, karena mematok harga tinggi. Maka, Rasulullah menganjurkan untuk membelinya, dan mendoakan ampunan bagi orang yang mau membeli sumur itu. “Barangsiapa yang membeli sumur Ruumah, maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.” (HR. An-Nasai) Lalu, tergeraklah hati Usman bin Affan RA untuk membelinya. Setelah terbeli, lalu Usman bin Affan mewakafkannya kepada kaum muslimin.

Kisah Wakaf Sumur Utsman bin Affan
Gambar Sumur Wakaf Dari Utsman bin Affan

Abu Thalhah RA mewakafkan kebun terbaiknya, yaitu perkebunan ‘Bairuha’. Padahal perkebunan itu adalah harta yang paling dicintainya. Dicintai karena paling produktif hasilnya. Abu Thalhah termotivasi oleh ayat yang sebelumnya baru saja diturunkan kepada Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Qs. Ali Imran [3]:92).

Umar bin Khattab RA juga mewakafkan tanah di Khaibar. Tanah Khaibar ini sangat disukai olehnya karena subur dan banyak hasilnya. Umar RA meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, maka Rasul menyuruh agar Umar menahan pokoknya dan memberikan hasilnya kepada fakir miskin, dan Umar pun melakukan hal itu. Ini terjadi pada tahun ke-7 Hijriah.

Ketika Umar bin Khattab RA menjadi khalifah, ia mencatatkan wakafnya dalam akte wakaf yang dipersaksikan kepada para saksi dan mengumumkannya kepada masyarakat luas. Sejak saat itu banyak keluarga Nabi SAW dan para sahabat yang lain yang mewakafkan tanah dan perkebunannya.

Wakaf menjadi gerakan sosial yang strategis: menopang keberlangsungan kelompok, provinsi, negara, bahkan peradaban. Dalam jejak peradaban Islam di mana pun pasti di sana ada aset wakaf yang menjadi sumber kehidupannya.

Masyarakat, khususnya umat Islam menikmati manfaat wakaf untuk menunjang kehidupan. Dengan adanya Masjid Nabawi, mereka memiliki kebanggaan tersendiri. Shalat di sana dengan penuh kekhusyuan bersama Rasulullah. Bagi umat Islam saat ini, mereka mendirikan shalat di sana sambil menghayati perjuangan Rasulullah beserta sahabat. Dengan berziarah di sana, seseorang dapat menyaksikan langsung jejak dan bukti keagungan Islam yang hingga detik ini berkembang pesat karena menjadi inspirasi peradaban.

Sumur Utsman menjadi sumber kehidupan masyarakat. Mereka semakin mudah mendapatkan air bersih sehingga tak lagi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain memenuhi kebutuhan hidup, air juga mereka kelola untuk menghasilkan makanan dan minuman atau bahan dasar produksi yang hasilnya akan dijual ke masyarakat, memenuhi pundi-pundi uang masyarakat, sehingga mereka semakin sejahtera.

Ketakjuban Barat Pada Wakaf

Orang-orang Barat dan Eropa terkesima dengan kenyataan sejarah ini. Maka, mereka pun akhirnya mengakui bahwa Islam adalah penggagas pertama wakaf keluarga, dan hal itu secara terang-terangan dinyatakan di dalam Ensiklopedia Amerika, dimana sebelumnya tidak pernah dikenal dalam perundang-undangan manapun baik di dunia Barat maupun Eropa.

Itulah sekelumit kisah para sahabat yang selalu mewakafkan sebagian harta yang dicintainya untuk kemaslahatan umat. Karena itulah, Rasulullah SAW memberi kabar gembira dalam hadisnya yang masyhur bahwa ada 10 orang sahabatnya yang dijamin masuk surga. Dari 10 sahabat itu, 7 orang diantaranya adalah para saudagar kaya raya yang gemar berwakaf, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf , Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqas (radhialLaahu ‘anhum).

Sedangkan Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abu Ubaidillah bin Jarrah (radhialLaahu ‘anhum) memiliki peran lain sebagai tokoh intelektual, birokrat dan panglima perang. Ali bin Abi Thalib RA bahkan oleh Rasul disebut sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan. Kata Rasul, “aku adalah kota ilmu, Ali adalah pintu gerbangnya”.

Zaid bin Tsabit terkenal sebagai Sekretaris Pribadi Rasulullah SAW. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah mendiktekannya kepada Zaid, lalu menuliskankan di kayu, pelepah kurma dan bahan-bahan lain, mengingat waktu itu belum ada kertas.

Demikianlah, para sahabat Nabi itu menjadikan wakaf sebagai gaya hidup. Mereka selalu berlomba dalam berwakaf dan memberikan harta terbaiknya untuk kemaslahatan umum. Jika umat membutuhkan gerakan, para sahabat itulah yang berebut mengambil peran dalam berwakaf.

Bahkan, dalam sebuah riwayat atsar disebutkan bahwa Rasul SAW pernah bersabda: “Tidak ada seorang pun dari sahabatku yang ada, kecuali mereka telah ikut berwakaf.” Jadi, disinyalir semua sahabat Rasul telah mempraktekkan wakaf dalam kehidupannya. Itulah keteladanan para sahabat dalam berwakaf. Dan semoga kita semua mampu meneladaninya.

(republika.id)

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *