Oleh HM. Cholil Nafis, Ph.D, Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia
Wakaf merupakan ibadah maliyah yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Peran wakaf sebagai pranata keagamaan sangat penting. Ia tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi. Sehingga wakaf perlu ditingkatkan kemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah. Sebagai sebuah ajaran Islam, wakaf telah dikenal sejak masa Rasulullah saw. karena wakaf disyariatkan setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali melaksanakan wakaf. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw., yaitu wakaf tanah Rasulullah saw. untuk dibangun masjid. (John L. Esposito, 1995, h. 31).
Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Umar ibn Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang meriwayatkan bahwa Umar ibn Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah saw. untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah saw. menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnnya. Kemudian Umar menyedekahkan tanahnya dan mewasiatkan bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwarisi. Umar menyalurkan hasil tanah tersebut kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil dan tamu. (Nasa’i, Sunan Nasa’i, 1995, h. 233).
Dalam perkembangan selanjutanya, dari masa ke masa, umat Islam telah menjabarkan hadits tersebut dengan mewakafkan sebagian harta bendanya untuk kepentingan umat. Harta benda wakaf dikelola sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan, seperti pendidikan, kesehatan sarana publik lainnya. Keberadaan wakaf telah terbukti banyak membantu pengembangan dalam berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Biasanya, hasil pengelolaan harta benda wakaf digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan dan pendidikan – pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung dan lainnya.
Sejarah telah mencatat bahwa di Mesir, pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, perhatian terhadap wakaf nampak cukup tinggi sehingga masalah wakaf diserahkan kepada sebuah lembaga khusus untuk menangani wakaf di bawah pengawasan hakim. Menurut Abu Zahra, orang yang pertama kali melakukan hal tersebut adalah Taubah ibn Numairi, seorang Qadli Mesir di masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik. Taubah menegaskan bahwa tujuan utama dari peruntukan sedekah/wakaf ini adalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin. (Muhammad Abu Zahra, 1959, h. 11). Untuk itu, lembaga ini diorientasikan pada pembelaan rakyat yang tidak mampu.
Menurut kesimpulan para ahli, lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir dan bahkan di seluruh negera Islam. Pendirian lembaga khusus yang serupa juga telah dilakukan oleh hakim Taubah di Basrah sehingga sejak saat itu harta benda wakaf mulai dikelola dengan baik dan hasilnya didistribusikan sebagaimana mestinya.
Selain hal di atas, pada abad ke-4 Hijriyah, di Istanbul (Turki) juga telah berdiri sebuah rumah sakit anak yang menggunakan dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Di Andalusia (Spayol), berdiri fasilitas rumah sakit yang melayani baik orang muslim maupun non muslim juga berasal dari dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Pada masa Khilafah Abasyiah, dana hasil pengelolaan harta benda wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni dan telah berperan bagi perkembangan arsitektur Islam terutama arsitektur dalam pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit. Dan dalam bidang pendidikan, universitas al-Azhar di Kairo, Mesir merupakan salah satu perguruan tinggi yang samapai saat ini masih eksis karena dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Dari sini sudah jelas bahwa wakaf telah menjadi instrument penting dalam pengembangan peradaban umat.
Di Indonesia, praktek wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial maupun pasca-kolonial (Indonesia merdeka). Sehingga harta benda wakaf sudah menyebar di negeri ini, mulai dari Aceh, Gayo, Tapanuli, Gorontalo, Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan lain-lain. Di antara beberapa daerah tersebut berbeda-beda dalam menyebut harta benda wakaf. Di Aceh wakaf disebut dengan Wakeuh, di Gayo disebut dengan Wakos, di Payakumbuh disebut dengan Ibah dan lain-lain. (Imam Suhadi, 2002, h. 38).
Namun karena sejak semula tidak diiringi dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memadai, harta benda wakaf tersebut tidak teradministrasikan dengan baik, dan bahkan tidak sedikit yang sering menimbulkan permasalahan (sengketa).
Hal inilah antara lain yang memunculkan kesadaran pemerintah Hindia Belanda untuk menertibkan tanah wakaf di Indonesia. Pada waktu Priesterraad (Pengadilan Agama) didirikan berdasarkan Staatsblad No. 152 Tahun 1882, salah satu yang menjadi wewenangnya adalah menyelesaikan masalah wakaf.
Pasca-kemerdekaan, Pemerintah RI juga mengeluarkan peraturan-peraturan perwakafan, namun kurang memadai. Karena itu, dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, persoalan perwakafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49. Dalam pasal itu disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP tersebut baru dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu, yakni PP Nomer 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Di samping Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, ada beberapa peraturan lain yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan tanah milik; Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik; Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap kepala KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.
Perhatian pemerintah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU itu, dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, Pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a). perkawinan; (b). kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c). wakaf dan shadaqah. Dengan adanya berbagai peraturan itu, diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib. Namun kenyataannya, peraturan-peraturan yang berkenaan dengan wakaf tersebut sampai dengan tahun 1990 belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah perwakafan.
Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada, pada tanggal 30 November 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Di samping itu, agar terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam masalah perwakafan, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Buku III juga dimuat hal-hal yang berkenaan dengan Hukum Perwakafan. Dengan demikian para hakim mempunyai pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan diharapkan dengan adanya kompilasi itu, tidak ada lagi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Terbitnya berbagai aturan itu, tertib administrasi perwakafan di Indonesia memang meningkat. Hal ini terlihat dari banyaknya tanah wakaf yang bersertifikat. Akan tetapi, sampai saat ini, masih banyak kasus-kasus tanah wakaf yang menjadi sengketa. praktik wakaf tersebut belum sepenuhnya berjalan tertib dan efesien sehingga dalam berbagai kasus, harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Hal itu lebih disebabkan karena harta benda wakaf belum disertifikatkan. Padahal sertifikasi harta benda wakaf sangat diperlukan demi tertib administrasi dan kepastian hak bila terjadi sengketa atau masalah hukum. Sayangnya, masih banyak harta benda wakaf di Indonesia yang belum disertifikatkan sehingga sering kita temukan sengketa harta benda wakaf yang berakibat pada pindahnya harta benda wakaf menjadi hak milik pribadi.
Keadaan demikian itu tidak hanya kelalaian atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, tetapi juga karena sikap masyarakat yang kurang peduli atau memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf. Selain itu, kebijakan pemerintah yang memadai untuk tertib administrasi perwakafan juga sangat diperlukan. hal tersebut, pada tahun 2004, pemerintah telah mengesahkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU ini secara komprehensif mengatur tentang perwakafan, mulai dari pedaftaran dan pengumuman Harta Benda wakaf, perubahan status harta benda wakaf, pengelolaan harta benda wakaf dan lain-lain. Namun langkah yang lebih maju dari UU tersebut adalah merekomendasikan dibentuknya Badan Wakaf Indoenasi (BWI). Dan saat ini BWI sudah terbentuk. Kemudian pada tahun 2006, juga sudah kelaur Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU Wakaf yang cukup detail menjelaskan mekanisme tertib administrasi perwakafan yang dapat digunakan sebagai dasar hukumnya.
Untuk itu, menciptakan tertib hukum dan tertib administrasi sangatlah penting guna melindungi harta benda wakaf. Upaya demikian, saat ini, akan menemui tantangan yang lebih berat lagi, karena harta benda wakaf, sebagaimana dijelaskan dalan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut, tidak hanya benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan dan lain sebagainya. Selain itu, dalam UU tersebut juga mengamanatkan kepada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk mengadministrasikan harta benda wakaf serta mengumumkan harta benda wakaf yang telah terdaftar. Dengan adanya upaya demikian, tertib administrasi perwakafan diharapkan dapat terwujud.
Mengenal Unsur Wakaf
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dijelaskan bahwa Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah. Perbuatan untuk menyerahkan sebagian harta benda tersebut memiliki beberapa unsur, yaitu;
a. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
b. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
c. Harta benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif
d. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
e. Peruntukan harta benda wakaf adalah bagi: sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang – undangan.
f. Jangka Waktu Wakaf adalah unsur wakaf yang khusus untuk wakaf uang, karena wakaf uang dapat diwakafkan secara muabad (abadi) atau mu’aqad (berjangka).
Kebijakan Tertib Administrasi Perwakafan
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan beberapa kebijakan pemerintah, baik berupa Undang Undang maupun Peraturan Pemerintah (PP), sebagai upaya untuk melaksanakan tertib administrasi perwakafan. Upaya tertib administrasi perwakafan tertuang dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW) sebagai badan hukum yang berupaya menertibkan perwakafan, baik harta benda wakaf yang berupa tanah maupun yang lainnya. Pengalaman operasional pembuatan AIW, sampai saat ini, lebih banyak terkait dengan sertifikat tanah wakaf, khususnya perwakafan tanah milik sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik telah diatur bahwa Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dan administrasi perwakafan diselenggarakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.[1] Peraturan tersebut hanya mengatur mengenai pendaftaran harta benda wakaf tanah, belum mengatur pendaftaran harta benda wakaf bergerak seperti uang.
Sebagai langkah kongkrit pemerintah dalam menertibkan administrasi perwakafan, telah disahkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU ini terdiri atas sebelas bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal yang meliputi pengertian tentang wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian sengketa, pembinaan dan pengawasan wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
Dalam BAB III Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda wakaf yang termuat dalam pasal 32 sampai dengan pasal 39 sudah cukup rinci mengatur tentang tertib administrasi perwakafan. Hal ini diperjelas lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Dalam BAB IV Peraturan Pemerintah tersebut telah menjabarkan bagaimana tata cara pendaftaran harta benda wakaf, baik harta benda wakaf tidak bergerak maupun harta benda wakaf bergerak. Hal ini termuat dalam pasal 38 sampai dengan pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Semua peraturan tersebut dibuat hanya untuk menjaga dan melestarikan harta benda wakaf di Indonesia. Jika harta benda wakaf tertata dengan apik, maka kita akan dapat mengembangkan dan mengelola harta benda wakaf tersebut dengan baik. Sehingga hasil pengelolaan tersebut dapat didistribusikan sebagaimana peruntukan harta benda wakaf.
Dengan adanya peraturan dan perundang-undangan yang sudah memadai, diharapkan perwakafan di Indonesia menjadi tertib dan dapat berkembang dengan maksimal sehingga harta benda wakaf dapat membantu memperbaiki kondisi kesejahteraan umat.
Jenis Harta Benda Wakaf
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi peraturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf sebelumnya. Jika dalam peraturan atau perundang-undangan yang lama hanya mengatur obyek wakaf yang meliputi harta benda yang tidak bergerak (tanah dan bangunan) saja, tetapi dalam UU ini obyek wakaf yang meliputi harta benda bergerak seperti uang dan surat berharga.
Obyek wakaf menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menyebutkan bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 77. Obyek wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut lebih luas lagi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 point (5) yang menyatakan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah yang diwakafkan oleh wakif. Kemudian dalam pasal 16 point (1) menjelaskan bahwa harta benda wakaf terdiri dari; harta benda tidak bergerak dan harta benda bergerak.
a. Benda tidak bergerak
Jenis harta benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan adalah meliputi harta benda sebagai berikut:
1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah yang sesuai ketentuan di atas;
3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
b. Benda bergerak
Jenis harta benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah harta benda yang tidak habis karena dikonsumsi, yang meliputi:
1. Uang;
2. Logam mulia;
3. Surat berharga;
4. Kendaraan;
5. Hak atas kekayaan intelektual;
6. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ikrar Wakaf
Dalam bahasan terdahulu telah dijelaskan bahwa harta benda wakaf meliputi harta benda tidak bergerak dan harta benda bergerak. Harta benda bergerak terdiri atas; tanah, bangunan atau bagian bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; satuan rumah susun, dan benda tidak bergerak lain. Sedangkan harta benda bergerak adalah harta benda yang tidak habis dikonsumsi seperti, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka mengadministrasikan harta benda wakaf tidak akan lepas dari kategori jenis harta benda wakaf tersebut, baik dalam hal proses Ikrar Wakaf maupun pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW).
Ikrar Wakaf dilakukan oleh wakif sebagai tanda penyerahan harta benda yang diwakafkan. Ikrar wakaf ini dapat disampaikan secara lesan maupun tertulis, disertai dengan menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Prosesnya, Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan PPAIW. Pernyataan kehendak Wakif dituangkan dalam bentuk AIW sesuai dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri oleh Nazhir, Mauquf alaih, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Mengingat jenis harta benda wakaf itu meliputi harta benda tidak bergerak dan harta benda bergerak, maka proses pembuatan AIW-nya juga memiliki ketentuan-ketentuan yang berbeda-beda.
a. Pembuatan AIW benda tidak bergerak
Pembuatan AIW benda tidak bergerak harus memenuhi persyaratan dengan menyerahkan sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
b. Pembuatan AIW benda bergerak
Pembuatan AIW benda bergerak selain uang harus memenuhi persyaratan dengan menyerahkan bukti pemilikan benda bergerak selain uang tersebut.
Pendaftaran Harta Benda Wakaf
Setelah proses pembuatan AIW selesai, PPAIW atas nama Nazhir harus segera mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang dengan menyerahkan salinan AIW, surat-surat atau bukti kepemilikan, dan dokumen yang terkait. Kemudian harta benda wakaf tersebut akan didaftar dan diadministrasikan oleh Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk kemudian diumumkan kepada publik.
Karena jenis harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak, maka cara pendaftarannya juga berbeda-beda sebagaimana akan dijelaskan berukut ini.
Pendaftaran Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak
Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
Tata cara pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan pendaftaran perwakafan tanah milik adalah sebagai berikut;
a. Tanah milik yang sudah bersertifikat dengan status hak milik
1. syarat-syarat pembuatan Akta Ikrar Wakafnya ialah;
– Sertifikat hak atas tanah;
– Surat keterangan Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa;
– Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari kantor pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat;
– Harus ada calon wakif yang berkeinginan mewakafkan tanah miliknya;
– Harus ada nazhir perorangan warga Negara Indonesia (WNI) dan atau Badan Hukum Indonesia.
2. Proses Pembuatan Akta Ikrar Wakaf
– Calon wakif harus datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan membawa persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf.
– PPAIW melakukan hal-hal sebagai berikut;
1. Meneliti kehendak calon wakif dan tanah yang akan diwakafkan;
2. Meneliti para nazhir, baik nazhir perorangan maupun nazhir badan hukum;
3. Meneliti para saksi ikrar wakaf;
4. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf.
– Calon wakif mengikrarkan wakaf dengan lisan, jelas dan tegas kepada nazhir kepada PPAIW dengan para saksi, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan;
– Meneliti identitas calon wakif;
– Meneliti identitas nazhir perorangan dan/atau badan hukum (anggaran dasarnya);
– Calon wakif yang tidak datang di hadapan PPAIW dapat memberikan kuasa tertulis secara materik di hadapan notaris dan/atau di hadapan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan dibacakan kepada nazhir di hadapan PPAIW dan para saksi.
– PPAIW membuat akta ikrar wakaf (AM rangkap 3 (tiga) menurut bentuk formulir W.2 dan salinannya rangkap 4 (empat) menurut formulir W.2a. dengan ketentuan sebagai berikut;
1. Lembaran pertama disimpan;
2. Lembaran kedua untuk keperluan pendaftaran di kantor pertanahan kabupaten/kotamadya setempat;
3. Lembar ketiga dikirim kepada pengadilan agama setempat;
4. Salinan lembar pertama diserahkan kepada wakif;
5. Salinan lembar kedua diserahkan kepada nazhir;
6. Salinan lembar ketiga dikirim kepada Kandepag;
7. Salinan lembar keempat dikirim kepada kepala desa/lurah setempat.
3. Pendaftaran dan Pencatatan Akta Ikrar Wakaf
1. PPAIW atas nama nazhir dan/nazhir sendiri berkewajian untuk mengajukan permohonan pendaftaran pada Kantor Pertanahan Kabupaten /Kotamadya setempat dengan menyerahkan:
– Sertifikat tanah yang bersangkutan; Akta Ikrar Wakaf Tanah;
– Surat Pengesahan dari KUA Kecamatan setempat mengenai nazhir yang bersangkutan
Catatan;
Nazhir juga berkewajiban mengurus pendaftaran/sertifikat tanah hibah karena;
– Nazhir adalah pengelola/pengurus tanah;
– PPAIW adalah pejabat pembuat akta ikrar wakaf, yaitu pejabat kantor urusan agama yang mempunyai urusan admistrasi yang kepegawaian yang banyak, sehingga tidak dapat mengurus sertifikat dengan cepat. Beda halnya dengan nazhir sebagai pengelola dan pemilik tanah wakaf.
– Biaya juga tidak ditanggung sepenuhnya oleh PPAIW.
2. Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya setempat:
– Mencantumkan kata-kata “wakaf” dengan huruf besar dibelakang nomor hak milik tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
– Mencantumkan kata-kata “diwakafkan untuk ……..berdasarkan akta ikrar wakaf PPAIW Kecamatan ………No……..pada halaman 3 (tiga) kolom sebab perubahan dalam buku tanah dan sertifikatnya.
– Mencantumkan kata nazhir disertai kedudukannya pada buku tanah dan sertifikatnya.
b. Tanah Milik Yang Berstatus Hukum Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai
Persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf adalah adanya Surat keterangan dari kepala kantor kabupaten/kotamadya bahwa tanah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat ditingkatkan status hak kepemilikan menjadi hak milik.
Sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan tentang pertanahan yang berlaku sekarang ini, maka atas tanah Negara yang diberikan dengan hak pakai dan hak guna dapat ditingkatkan status kepemilikannya menjadi hak milik. Sehingga peluang untuk pemberian wakaf atas tanah hak pakai dan hak guna bangunanan yang sudah bersertifikat dapat juga diwakafkan dan merupakan penyesuaian PP Nomor 28 Tahun 1977 yang dengan peraturan yang dibuat setelah PP tersebut.
c. Tanah Hak Milik Yang Belum Bersertifikat (Bekas Tanah Hak Milik Adat)
1. Persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf
a. Surat pemilikan tanah (termasuk surat pemindahan hak, surat keterangan warisan, girik dan lain-lain).
b. Surat Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat yang membenarkan tanah tersebut tidak dalam sengketa.
c. Surat Keterangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat yang menyatakan hak atas tanah itu belum mempunyai sertifikat (pasal 25 ayat 4 PP No. 10 Tahun 61).
d. Harus ada nazhir perseorangan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.
e. Harus ada calon wakif yang berkeinginan mewakafkan tanah miliknya.
2. Proses Pembuatan Akta Ikrar Wakaf
Proses pembuatan Akta Ikrar Wakaf tanah hak milik yang belum bersertifikat sama dengan proses pembuatan akta ikrar wakaf tanah milik yang sudah bersertifikat dengan status hak milik dengan keterangan bukti-bukti mengenai tanahnya berupa Surat Keterangan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya bahwa tanah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat ditingkatkan status hak kepemilikan menjadi hak milik. Proses tersebut adalah sebagai berikut;
– Calon wakif harus datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan membawa; persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf.
– PPAIW melakukan hal-hal sebagai berikut;
1. Meneliti kehendak calon wakif dan tanah yang akan diwakafkan;
2. Meneliti para nazhir, baik nazhir perorangan maupun nazhir badan hukum;
3. Meneliti para saksi ikrar wakaf;
4. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf.
– Calon wakif mengikrarkan wakaf dengan lisan, jelas dan tegas kepada nazhir kepada PPAIW dengan para saksi, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan;
– Meneliti identitas calon wakif;
– Meneliti identitas nazhir perorangan dan/atau badan hukum (anggaran dasarnya);
– Calon wakif yang tidak datang di hadapan PPAIW dapat memberikan kuasa tertulis secara matreatik di hadapan notaris dan/atau di hadapan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan dibacakan kepada nazhir di hadapan PPAIW dan para saksi.
– PPAIW membuat akta ikrar wakaf (AM rangkap 3 (tiga) menurut bentuk formulir W.2 dan salinannya rangkap 4 (empat) menurut formulir W.2a. dengan ketentuan sebagai berikut;
1. Lembaran pertama disimpan;
2. Lembaran kedua untuk keperluan pendaftaran di kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat;
3. Lembar ketiga dikirim kepada Pengadilan Agama setempat;
4. Salinan lembar pertama diserahkan kepada wakif;
5. Salinan lembar kedua diserahkan kepada nazhir;
6. Salinan lembar ketiga dikirim kepada Kandepag;
7. Salinan lembar keempat dikirim kepada Kepala Desa/Lurah setempat.
3. Pendaftaran dan Pencatatan Akta Ikrar Wakaf
a. PPAIW atas nama nazhir dan/nazhir sendiri berkewajian untuk mengajukan permohonan pendaftaran pada kantor Pertanahan Kabupaten /Kotamadya setempat dengan menyerahkan:
– Surat pemilikan tanah (termasuk surat pemindahan hak, surat keterangan warisan, girik dan lain-lain).
– Akta Ikrar Wakaf
– Surat Pengesahan nazhir
Catatan:
Nazhir juga diberikan kewajiban untuk mengajukan permohonan pendaftaran karena pengurus tanah tersebut prinsipnya berada pada nazhir, sedangkan PPAIW hanya pejabat pembuat akta. Kewajiban nazhir ini lebih disebabkan untuk mempercepat pengurusan sertifikat.
b. Apabila memenuhi persyaratan untuk dikonversi, maka dapat dikonversi langsung atas nama wakif (PMPA Nomor 2 Tahun jo SK Nomor 26/DDA tahun 1970)
c. Apabila persyaratan dikonversi tidak dipenuhi dapat diproses melalui prosedur pengakuan hak atas nama wakif.
d. Berdasarkan Akta Ikrar Wakaf, nama adalah atas nama nazhir.
e. Bagi konversi yang dilaksanakan melalui prosedur pengakuan, hak penerbitan sertifikat setelah diperoleh Surat Keterangan pengakuan hak atas nama wakif. Selanjutnya dilaksanakan pencatatan sebagai berikut;
– Mencantumkan kata-kata “wakaf” dengan huruf besar dibelakang nomor hak milik tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
– Mencantumkan kata-kata “diwakafkan untuk ……..berdasarkan akta ikrar wakaf PPAIW Kecamatan ………No……..pada halaman 3 (tiga) kolom sebab perubahan dalam buku tanah dan sertifikatnya.
– Mencantumkan kata nazhir disertai kedudukannya pada buku tanah dan sertifikatnya.
d. Tanah Yang Belum Ada Haknya (Yang Dikuasai/Tanah Negara)
1. Tanah yang sudah berstatus tanah wakaf (tanah yang sudah berfungsi tanah wakaf, masyarakat dan pemerintah desa setempat mengakui sebagai tanah wakaf, sedang status tanahnya bukan milik adat tanah negara).
2. Tanah yang belum berstatus tanah wakaf tetapi hendak diwakafkan. Untuk tanah-tanah ini diperlukan syarat-syarat sebagai berikut;
a. Wakif atau ahli warisnya masih ada dan mempunyai surat bukti penguasaan/penggarapan, kartu kavling, surat penunjukan;
– Surat keterangan Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat di samping menjelaskan mengenai penggunaan tanah yang telah diwakafkan.
– Bukti kepemilikan tanah lamanya berupa kartu kavling, akta-akta jual beli/pengoper dan hak di bawah tangan atau outentik (akta notaries).
– Surat Keterangan BPN, tanah Negara tersebut dapat ditingkatkan menjadi hak milik.
– Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat yang menerangkan status tanah Negara tersebut apabila sudah pernah terdaftar atau menerangkan belum bersertifikat apabila tanah negara tersebut belum pernah terdaftar.
– Calon wakif atau ahli waris datang menghadap PPAIW untuk melaksanakan akta ikrar wakaf sebagai berikut;
1. Calon wakif harus datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan membawa; persyaratan pembuatan Akta Ikrar Wakaf.
2. PPAIW melakukan hal-hal sebagai berikut;
– Meneliti kehendak calon wakif dan tanah yang akan diwakafkan;
– Meneliti para nazhir, baik nazhir perorangan maupun nazhir badan hukum;
– Meneliti para saksi ikrar wakaf;
– Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf.
3. Calon wakif mengikrarkan wakaf dengan lisan, jelas dan tegas kepada nazhir kepada PPAIW dengan para saksi, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan;
4. Meneliti identitas calon wakif;
5. Meneliti identitas nazhir perorangan dan/atau badan hukum (anggaran dasarnya);
6. Calon wakif yang tidak datang di hadapan PPAIW dapat memberikan kuasa tertulis secara matreatik di hadapan notaris dan/atau di hadapan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan dibacakan kepada nazhir di hadapan PPAIW dan para saksi.
7. PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf (AM rangkap 3 (tiga) menurut bentuk formulir W.2 dan salinannya rangkap 4 (empat) menurut formulir W.2a. dengan ketentuan sebagai berikut;
a. Lembaran pertama disimpan;
b. Lembaran kedua untuk keperluan pendaftaran di kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat;
c. Lembar ketiga dikirim kepada Pengadilan Agama setempat;
d. Salinan lembar pertama diserahkan kepada wakif;
e. Salinan lembar kedua diserahkan kepada nazhir;
f. Salinan lembar ketiga dikirim kepada Kandepag;
g. Salinan lembar keempat dikirim kepada kepala desa/lurah setempat.
– PPAIW dan atau nazhir berkewajiban mengajukan permohonan atas nama nazhir kepada Kakanwil Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, dengan menyerahkan surat-surat bukti penguasaan/penggrapan atas nama wakif, surat keterangan Kepala Desa, surat bukti kepemilikan tanah, dan surat keterangan BPN serta surat pengesahan nazhir.
– Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat memproses dan meneruskan permohonan tersebut ke Kepala Wilayah Badan Pertanahan Provinsi.
– Setelah diterbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah atas nama nazhir, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya tersebut menerbitkan sertifikat tanah wakaf.
b. Wakif atau ahli warisnya masih ada tetapi tidak memiliki surat bukti penguasaan/penggarapan dan atau tanah yang hendak diwakafkan tersebut tidak memiliki kartu kavling atau surat penunjukan.
1. Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat di samping menjelaskan tentang perwakafan tanah tersebut dan atau tanah yang hendak diwakafkan tersebut tidak dalam sengketa, juga menjelskan kebenaran penguasaan/penggarapan oleh calon wakif.
2. Bukti kepemilikan tanah lamanya berupa kartu kavling, akta-akta jual beli/pengoper dan hak di bawah tangan atau outentik (akta notaries).
3. Surat keterangan BPN, tanah Negara tersebut dapat ditingkatkan menjadi hak milik.
4. Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat yang menerangkan status tanah Negara tersebut apabila sudah pernah terdaftar atau menerangkan belum bersertifikat apabila tanah negara tersebut belum pernah terdaftar.
5. Calon wakif atau ahli waris datang menghadap PPAIW untuk melaksanakan pembuatan Akta Ikrar Wakaf sebagai berikut;
a. Calon wakif harus datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan membawa; persyaratan pembuatan akta ikrar wakaf.
b. PPAIW melakukan hal-hal sebagai berikut;
– Meneliti kehendak calon wakif dan tanah yang akan diwakafkan;
– Meneliti para nazhir, baik nazhir perorangan maupun nazhir badan hukum;
– Meneliti para saksi ikrar wakaf;
– Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf.
c. Calon wakif mengikrarkan wakaf dengan lisan, jelas dan tegas kepada nazhir kepada PPAIW dengan para saksi, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan;
d. Meneliti identitas calon wakif;
e. Meneliti identitas nazhir perorangan dan/atau badan hukum (anggaran dasarnya);
f. Calon wakif yang tidak datang di hadapan PPAIW dapat memberikan kuasa tertulis secara matreatik di hadapan notaris dan/atau di hadapan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan dibacakan kepada nazhir di hadapan PPAIW dan para saksi.
g. PPAIW membuat akta ikrar wakaf (AM rangkap 3 (tiga) menurut bentuk formulir W.2 dan salinannya rangkap 4 (empat) menurut formulir W.2a. dengan ketentuan sebagai berikut;
– Lembaran pertama disimpan;
– Lembaran kedua untuk keperluan pendaftaran di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat;
– Lembar ketiga dikirim Kepada Pengadilan Agama setempat;
– Salinan lembar pertama diserahkan kepada wakif;
– Salinan lembar kedua diserahkan kepada nazhir;
– Salinan lembar ketiga dikirim kepada Kandepag;
– Salinan lembar keempat dikirim kepada Kepala Desa/Lurah setempat.
6. PPAIW dan atau nazhir berkewajiban mengajukan permohonan atas nama nazhir kepada Kakanwil pertanahan nasional melalui Kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya setempat, dengan menyerahkan surat-surat bukti penguasaan/penggrapan atas nama wakif, surat keterangan kepala desa, surat bukti kepemilikan tanah, dan surat keterangan BPN serta surat pengesahan nazhir.
7. Kantor pertanahan kabupaten/kotamadya setempat memproses dan meneruskan permohonan tersebut ke Kepala Wilayah Badan Pertanahan Provinsi.
8. Setelah diterbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah atas nama nazhir, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya tersebut menerbitkan sertifikat tanah wakaf.
c. Wakif atau ahli waris tidak ada
1. Surat Keterangan tentang tanah (kalau ada)
2. Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah diketahui Camat yang menerangkan tentang perwakafan tanah tersebut serta tidak dalam sengketa.
3. Surat pernyataan tentang perwakafan tanah dari orang-orang yang bersebelahan dengan tanah tersebut.
4. Nazhir atau Kepala Desa/Lurah mendaftarkan kepada KUA kecamatan setempat.
5. Kepala KUA meneliti dan mengesahkan nazhir.
6. Pembuatan akta pengganti AIW.
7. PPAIW atas nama nazhir dan/atau nazhir berkewajiban mengajukan permohonan hak atas tanah.
8. Selanjutnya proses permohonan hak, SK pemberian hak atas tanah dan penerbitasn sertifikat atas nama nazhir.
Tata Cara Perwakafan Harta Benda Bergerak
Kebanyakan wakif mewakafkan harta bendanya berupa harta benda tidak bergerak, seperti tanah milik. Tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, umat Islam mulai berminat untuk mewakafkan harta bendanya yang berupa harta benda bergerak selain tanah. Wakaf harta benda bergerak merupakan sebuah kebutuhan, demi perkembangan wakaf di Indonesia.
Dalam UU Nomor 41 tahun 204 tentang wakaf dijelaskan bahwa harta benda wakaf bergerak dikategorikan dalam dua jenis, yaitu harta benda bergerak berupa uang dan harta benda bergarak selain uang. Karena itu, cara pendaftarannya pun juga melalui prosedur yang berbeda, yang akan dijelaskan di bawah ini.
a. Benda Bergerak Selain Uang
PPAIW mendaftarkan AIW dari harta benda bergerak selain uang, baik yang terdaftar pada instansi yang berwenang maupun harta benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar serta yang memiliki atau tidak memiliki tanda bukti pembelian atau bukti pembayaran. Harta benda bergerak selain uang tersebut didaftarkan pada BWI, dan selama di daerah tertentu belum dibentuk BWI, maka pcndaftaran tersebut dilakukan di Kantor Departemen Agama setempat.
– Untuk benda bergerak yang sudah terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti kepemilikan benda bergerak kepada PPAIW dengan disertai surat keterangan pendaftaran dari instansi yang berwenang yang tugas pokoknya terkait dengan pendaftaran benda bergerak tersebut.
– Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran berupa faktur, kwitansi atau bukti lainnya.
– Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar dan tidak memiliki tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran, Wakif membuat surat pernyataan kepemilikan atas benda bergerak tersebut yang diketahui oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh instansi pemerintah setempat.
b. Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang
Dalam undang undang wakaf disebutkan bahwa setelah diterbitkan Sertifikat Wakaf Uang, Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) atas nama Nazhir harus mendaftarkan kepada Menteri Agama dan pendaftarannya ditembuskan kepada BWI untuk diadministrasikan.
Adapun pengadministrasian wakaf uang dijelaskan lebih rinci dalam PMA Wakaf uang dalam bab VI pasal 23, yaitu;
– Pendaftaran Setoran Wakaf Uang oleh LKS PWU kepada Menteri dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang, yang ditembuskan kepada BWI dengan melampirkan : Tembusan kedua AIW dan Tembusan kedua Sertifikat Wakaf Uang.
– Nazhir wajib menyusun Laporan Investasi dan Hasil Investasi Wakaf Uang.
– Nazhir wajib menyampaikan Laporan investasi dan hasil investasi tersebut kepada BWI dengan tembusan Menteri setiap 3 (tiga) bulan sekali untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember.
– Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 wajib disampaikan selambat-lambatnya pada akhir bulan berikut.
– Nazhir wajib melakukan administrasi dengan baik untuk mendukung pengelolaan Wakaf Uang dan penyusunan laporan sebagaimana dimaksud di atas.
Setelah harta benda wakaf terdaftar pada kantor Departemen Agama dan BWI, harta benda wakaf tersebut harus dimuat dalam dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Departemen Agama dan BWI. Dan register umum wakaf tersebut harus diumumkan dan masyarakat dapat mengetahui atau mengakses informasi tentang wakaf benda bergerak selain uang yang termuat dalam register umum yang tersedia pada kantor Departemen Agama dan BWI.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf).
Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006).
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Ksejahteraan Umat, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa, 2002).
John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The modern Islamic world, (New York: Oxford University Press, 1995)
Muhammad Abu Zahra, al-WaqfuI, (Jami’ah al-Duwal al-Arabiyah: Ma’had al-Dirasah al-Arabiyah, 1959)
Nasa’i, Sunan Nasa’i,(Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M), Juz V.
Permendagri Nomor 6 Tahun 1977 Pasal 8
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU Wakaf
Peraturan Menteri Agama (PMA) Tentang Wakaf Uang