Standarisasi dan Profesionalisme Nazhir di Indonesia

Oleh Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, Guru Besar Fakultas Syariah UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.

 

 

Pengembangan harta itu terikat dengan uslub (mekanisme) dan faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan harta. Sedangkan pengembangan kepemilikan harta itu terkait dengan suatu mekanisme yang dipergunakan oleh seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Oleh karena itu, sebenarnya sistem ekonomi itu tidak membahas tentang pengembangan harta, melainkan hanya membahas tentang pengembangan kepemilikannya. Islam juga tidak pernah mengemukakan tentang pengembangan harta, sebaliknya menyerahkan pengembangan harta tersebut kepada individu agar mengembangkannya dengan mekanisme dan faktor produksi apa saja yang menurutnya layak dipergunakan untuk mengembangkan harta tersebut.

 

Sementara itu Islam mengemukakan masalah pengembangan kepemilikan harta, serta menjelaskan hukum-hukumnya. Dari sinilah kemudian pengembangan kepemilikan itu haruslah terikat dengan hukum-hukum tertentu yang telah dibuat oleh al-Syari’, dan tidak boleh melampauinya. Al-Syari’ juga telah menjelaskan garis-garis besar tentang mekanisme yang dipergunnakan untuk mengembangkan kepemilikan tersebut, lalu menyerahkan detailnya kepada para mujtahid agar mereka menggali hukum-hukumnya, sesuai dengan pemahaman terhadap fakta yang ada, serta pemahaman terhadap nash yang menjelaskan tentang mekanisme tertentu yang mengharamkan dan melarangnya. Dengan demikian al-Syari’ telah menjelaskan mu’amalah dan transaksi-transaksi yang dipergunakan untuk mengembangkan kepemilikan tersebut.[1] 

 

Nazhir, sebagai yang mendapatkan amanat dari wakif harus profesional dan bertanggung jawab untuk memanfaatkan dan mengembangkan wakaf. Dalam mengembangkan wakaf tentunya nazhir harus berpegang teguh terhadap rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh al-Syari’ (Allah).

 

Hak dan Kewajiban Nazhir dalam Undang-Undang

 

Nazhir berasal dari kata kerja bahasa Arab nazhara, yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nazhir adalah isim fa’il dari kata nazhara yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas. Sedangkan nazhir wakaf atau biasa disebut nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf.

 

Dari pengertian nazhir yang telah dikemukakan di atas, nampak bahwa dalam perwakafan, nazhir memegang peranan yang sangat penting. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara, jika mungkin dikembangkan.[2]

 

Penyerahan pengelolaan harta wakaf merupakan hak wakif, baik diserahkan kepada perorangan, organisasi atau badan hukum. Dalam hal ini pemerintah berwenang untuk campur tangan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang perwakafan sekaligus pengawasannya.[3]

 

Pengelolaan harta wakaf yang diserahkan kepada nazhir atau mutawalli atau qayyim, mereka harus memelihara dan mengurus harta wakaf agar sesuai dengan tujuan wakaf. Untuk itu diperlukan syarat-syarat bagi mereka:

1.     Dewasa

2.     Berakal sehat

3.     Dapat dipercaya

4.     Mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan wakaf.

 

Dengan syarat-syarat tersebut di atas diharapkan nazhir mampu melakukan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi wakaf tersebut dengan senantiasa memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif. Apabila syarat-syarat itu tidak dipenuhi nazhir, maka wakif bisa menunjuk orang lain yang lebih memenuhinya. Bila wakif telah meninggal dunia sedangkan prinsip pengawasan harta wakaf itu berada pada wakif sendiri, maka hakim harus menunjuk pengganti dari ahli warisnya. Hakim tidak boleh mengangkat orang lain sebagai nazhir kecuali atas izin wakif selagi masih hidup.

 

Agar pengelolaan dan pengawasan harta wakaf berjalan dengan lancar, nazhir berhak menerima upah dari jerih payahnya selama ia melaksanakan tugas dengan baik. Namun bila terjadi kerusakan dan lainnya dari harta wakaf atas kelalaian dan kesengajaan nazhir, maka nazhir tersebut harus menanggung resiko, meskipun pada dasarnya sebagai pemegang amanat tidak dibebani resiko. Besar kerusakan atau kerugian ditetapkan oleh hakim.

 

Dalam hal pengelolaan harta wakaf, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa nazhir harus selain wakif, kecuali dalam sighah wakaf ditetapkan bahwa wakif sendirilah yang akan menjadi nazhir. Bila tidak ditetapkan dalam sighah wakaf, maka ada tiga kemungkinan yaitu:

1.     Pengelola tetap ada pada wakif, karena dialah yang berkepentingan terhadap tercapainya tujuan wakaf.

2.     Pengelola ada pada pemakai manfaat wakaf

3.     Pengawasan tetap ada pada hakim atau pemerintah.[4]

 

Tentang posisi nazhir juga dijelaskan dalam pasal 1 ayat 4 PP., pasal 1 huruf e PMA, sebagai berikut, Nazhir, adalah kelompok orang atau Badan Hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda-benda wakaf. Susunan kelompok orang di sini sekurang-kurangnya tiga orang, satu di antaranya sebagai nazhir. Dengan batasan nazhir ini maka perorangan tidak dapat ditunjuk sebagai nazhir. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan benda-benda wakaf oleh perseorangan, memudahkan pengawasan  dan menghilangkan benih kecurigaan dan perselisihan, serta memudahkan koordinasi dan bimbingan. Usaha pemerintah ini semata-mata untuk mendorong dan meningkatkan produktivitas dan bukan untuk menguasai.

 

Susunan nazhir disahkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) selaku PPAIW dengan syarat nazhir harus memenuhi ketentuan pasal 6 PP yaitu:

1. Warga negara Indonesia

2. Beragama Islam

3. Dewasa

4. Sehat jasmani dan rohani

5. Tidak berada dalam pengampuan

6. Bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah berada

 

Sedangkan nazhir badan hukum harus memenuhi syarat sebgai berikut:

1. Badan Hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia

2. Mempunyai perwakilan di kecamatan letak tanah wakaf.

 

Seorang nazhir berhenti dari jabatannya bila:

1. Meninggal dunia

2. Mengundurkan diri

3. Dibatalkan kedudukannya oleh Kepala KUA karena beberapa sebab:

a. Tidak memenuhi syarat dalam pasal 6 ayat 1 PP.

b. Melakukan tindak pidana

c. Tidak melakukan kewajiban sebagai nazhir.

 

Di dalam Peraturan Pemerintah dan juga Peraturan Menteri Agama disebutkan beberapa pasal dan ayat mengenai hak dan kewajiban nazhir, di antaranya:

 

A. Kewajiban nazhir :

      1.   Mengurus dan mengawasi harta wakaf, yaitu:

a.     menyimpan lembar kedua salinan akta ikrar

b.     memelihara tanah wakaf

c.     memanfaatkan tanah wakaf

d.     memelihara dan berusaha meningkatkan hasil

e.     menyelenggarakan pembukuan wakaf, yaitu:

1.    buku tentang keadaan tanah wakaf

2.    buku tentang pengelolaan dan hasil

3.     buku tentang penggunaan hasil (pasal 7 ayat 1 PP, pasal 10 ayat 1 PMA).

2.   Memberikan laporan kepada KUA Kecamatan, yaitu:

a.     hasil pencatatan wakaf tanah milik oleh pejabat agraria

b.     perubahan status tanah dan perubahan penggunaannya.

c.     pelaksanaan kewajiban nazhir pasal 20 ayat 1 PP setiap tahun sekali pada akhir bulan Desember.

3.  Melaporkan anggota nazhir yang berhenti dari jabatan

4.  Mengusulkan anggota pengganti kepada Kepala KUA Kecamatan tempat tanah wakaf berada, untuk disahkan keanggotaannya.

 

Semua ini dilakukan untuk memudahan koordinasi dan pengawasan, dan oleh sebab itu nazhir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang wajar atas usaha dan jerih payahnya (pasal 8 PP) untuk menghindari penyalahgunaan tujuan wakaf.

B. Hak nazhir sesuai ketentuan pasal 11 PMA adalah:

1. Menerima hasil tanah wakaf dengan tidak melebihi dari 10% hasil bersih

2. Menggunakan fasilitas dan hasil tanah wakaf sepanjang diperlukan.

 

Di dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Bagian Kelima pasal 9, dijelaskan bahwa nazhir meliputi:

a.     perseorangan;

b.     organisasi; atau

c.     badan hukum.

 

Di dalam pasal 10 ayat 1 disebutkan, perseorangan yang dimaksud dalam pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a.     warga negara Indonesia;

b.     beragama Islam;

c.     dewasa;

d.     amanah;

e.     mampu secara jasmani dan rohani; dan

f.      tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

 

Di dalam ayat 2 disebutkan, organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a.     pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b.     organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

 

Ayat 3 menyebutkan, badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a.     pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b.     badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

c.     badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

 

Dalam pasal 11 disebutkan, nazhir mempunyai tugas:

a.     melakukan pengadmistrasian harta benda wakaf;

b.     mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;

c.     mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d.     melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

 

Pasal 12 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).

 

Pasal 13 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam pasal 14 ayat 1 disebutkan, dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam ayat 2 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13 dan pasal 14 diatur dengan Peraturan Pemerintah.[5]

 

Ada persyaratan umum lain bagi nazhir, yaitu:

1.     Nazhir adalah pemimpin umum dalam wakaf. Oleh karena itu nazhir harus berakhlak mulia, amanah, berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang dianggap perlu untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan tujuannya.

2.     Nazhir bisa bekerja selama masa kerjanya dalam batasan undang-undang wakaf sesuai dengan keputusan organisasi sosial dan dewan pengurus. Nazhir mengerjakan tugas harian yang menurutnya baik dan menentukan petugas-petugasnya, serta punya komitmen untuk menjaga keutuhan harta wakaf, meningkatkan pendapatannya,  menyalurkan manfaatnya. Nazhir juga menjadi utusan atas nama wakaf terhadap pihak lain ataupun di depan mahkamah (pengadilan).

3.     Nazhir harus tunduk kepada pengawasan Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia, dan memberikan laporan keuangan dan administrasi setiap seperempat tahun minimal, tentang wakaf dan kegiatannya.

4.     Nazhir bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian atau hutang yang timbul dan bertentangan dengan undang-undang wakaf.[6] 

 

Nazhir Profesional

 

Kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf sangatlah penting. Walaupun para mujtahid sepakat tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan (badan hukum). Pengangkatan nazhir wakaf ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia.

 

Pada dasarnya siapapun dapat menjadi nazhir sepanjang ia bisa melakukan tindakan hukum. Akan tetapi karena tugas nazhir menyangkut harta benda yang manfaatnya harus disampaikan kepada pihak yang berhak menerimanya, jabatan nazhir harus diberikan kepada orang yang memang mampu menjalankan tugas tersebut. Para Imam mazhab sepakat pentingnya nazhir memenuhi syarat adil dan mampu. Menurut jumhur ulama, maksud adil adalah mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang menurut syari’at Islam. Sedangkan maksud mampu berarti kekuatan dan kemampuan seseorang mentasharrufkan (memanfaatkan) apa yang dijaga (dikelola)nya. Dalam hal kemampuan ini dituntut sifat taklif, yakni dewasa dan berakal. Jika nazhir tidak memenuhi syarat adil dan mampu, hakim (pemerintah) boleh menahan wakaf itu dari nazhir.

 

Untuk lebih jelasnya, persyaratan nazhir wakaf profesional itu dapat diungkapkan sebagai berikut:

1.   Syarat moral, meliputi:

a. Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun perundang-undangan negara RI.

b. Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf.

c. Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.

d. Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.

e. Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.

 

2. Syarat manajemen, meliputi:

a. Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.

b. Visioner.

c. Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdayaan.

d. Profesional dalam bidang pengelolaan harta.

e. Ada masa bhakti nazhir.

f. Memiliki program kerja yang jelas.

 

3. Syarat bisnis, meliputi:

a. Mempunyai keinginan.

b. Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan.

c. Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur.

           

Sebagai nazhir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan maksimal dan optimal sesuai dengan harapan para wakif secara khusus dan kaum muslimin secara umum. Sehingga pengalaman-pengalaman pengelolaan harta wakaf yang tidak produktif seperti yang terjadi pada masa lalu tidak terulang lagi. Untuk itu dalam persoalan nazhir ini ada beberapa istilah yang harus dirubah paradigmanya, yaitu dari pengelolaan yang bersifat konsumtif menuju pengelolaan yang bersifat produktif. Dari nazhir tradisional yang mendasarkan kepada kepercayaan semata menuju nazhir profesional yang direkrut berdasarkan keahlian dalam bidang masing-masing. Serta memberdayakan dari nazhir perseorangan menuju nazhir kelembagaan agar mudah pertanggung jawabannya.[7]

 

Lebih luas lagi dijelaskan, bahwa dalam pelaksanaanya, agar nazhir dapat bekerja secara profesional dalam mengelola wakaf, maka bagi nazhir, khususnya nazhir wakaf uang juga harus memiliki kemampuan yang lain, di antaranya:

 

1.     Memahami hukum wakaf dan peraturan perundang-undangan yang terkait masalah perwakafan. Seorang nazhir sudah seharusnya memahami dengan baik hukum wakaf  yang ada dalam syari’at Islam dan dalam perundang-undangan positif di Indonesia. Tanpa memahami hal-hal tersebut, dipastikan nazhir tidak akan mampu mengelola wakaf dengan baik dan benar.

2.     Memahami ilmu pengetahuan mengenai ekonomi syari’ah dan instrumen keuangan syari’ah. Wakaf adalah salah satu lembaga ekonomi Islam yang sangat potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu sudah selayaknya seorang nazhir khususnya nazhir wakaf uang dituntut memiliki dan memahami ekonomi syari’ah dan instrumen keuangan syari’ah.

3.     Memahami praktik perwakafan khususnya praktik wakaf uang di berbagai negara. Dengan demikian yang bersangkutan mampu melakukan inovasi dalam mengembangkan  wakaf uang, sebagai contoh adalah praktik wakaf uang yang dilakukan di Bangladesh, Turki dan lain-lain.

4.     Mengakses ke calon wakif. Idealnya pengelola wakaf uang adalah lembaga yang ada kemampuan melakukan akses terhadap calon wakif, sehingga nazhir mampu mengumpulkan dana wakaf cukup banyak. Kondisi demikian jelas akan sangat membantu terkumpulnya dana wakaf yang cukup besar sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat.

5.     Mengelola keuangan secara profesional dan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, seperti melakukan investasi dana wakaf. Investasi ini dapat berupa investasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

6.     Melakukan administrasi rekening beneficiary. Persyaratan ini memerlukan teknologi tinggi dan sumberdaya manusia yang handal.

7.     Melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf. Di samping mampu melakukan investasi, diharapkan nazhir juga mampu mendistribusikan hasil investasi dana wakaf kepada mauquf ‘alaih. Diharapkan pendistribusiannya tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi dapat memberdayakan mauquf ‘alaih.

8.     Mengelola dana wakaf secara transparan dan akuntabel.[8]  

 

Dalam pengelolaan dana wakaf oleh nazhir, ada hal yang lebih harus ditekankan di sini adalah transparansi dalam pengelolaan dana umat tersebut. Oleh karena dana umat bukan milik sebuah perusahaan, namun milik umat secara umum, maka harus ada keterbukaan dalam mengelolanya. Harus lebih terbuka dan lebih melibatkan segala unsur umat dibandingkan dengan perusahaan publik. Artinya siapa saja umat Islam (termasuk melalui lembaga legislatif) mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk mengetahui secara detail tentang lalu lintas dana, pemasukan dan pengeluaran, serta jenis-jenis penggunaan sampai detail apa saja. Tidak ada alasan untuk menolak anggota umat untuk mengetahuinya. Sudah barang tentu, tujuannya di samping menghindari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), juga untuk menghindari tidak efisien yang disebabkan oleh faktor non-KKN, seperti kurang tepatnya membuat skala prioritas, kurang adilnya pemanfaatan bantuan kepada umat yang membutuhkannya.

 

Pada dasarnya bukan hanya transparansi itu saja, namun sekaligus juga ada “Audit Publik” yang memang pelakunya dapat dipertanggung jawabkan baik secara administratif maupun secara agama (dunia-akhirat). Dengan cara seperti ini, ungkapan “dana umat” bukan isapan jempol belaka, bukan pula untuk sekedar mengelabuhi masyarakat, terlebih lagi untuk mengelabuhi orang-orang yang telah berderma memberikan hartanya sebagai wakaf.

 

Melalui sistem manajemen profesional, di samping taat pada ketentuan kerjanya yang juga meliputi visi dan misinya juga perlu dengan transparansi pengalokasian dana untuk biaya administrasi atau manajemen, termasuk honorarium tenaga yang menjalankan administrasi atau manajemen secara profesional. Sudah barang tentu harus disadari bahwa bekerja dalam manajemen dana umat ini tidak identik dengan bekerja dalam perusahaan atau bisnis. Itulah sebabnya, ungkapan mengelola harta wakaf dengan modal ikhlas, lillahi ta’ala dan semacamnya harus dikonstruksi ulang dan diperbaiki, baik dalam tampilan administratif maupun dalam pertanggung jawaban akhirat. Justru ungkapan tersebut memerlukan penanganan secara transparan dan profesional.

 

Di sini perlu dipisahkan antara mereka yang bekerja dalam administrasi atau manajemennya dan mereka yang menjadi pengurus wakaf. Tidak campur aduk yang menyebabkan tidak adanya profesionalisme dalam pengelolaannya atau bahkan terjadi pengkaburan atau penyalahgunaan, seperti yang terjadi pada kebanyakan pengelolaan harta wakaf selama ini.[9]

 

Pengalaman Pengelolaan Wakaf Profesional

 

Secara historis, anjuran dan misi wakaf untuk menciptakan kesejahteraan sosial sebenarnya telah dicontohkan di zaman kejayaan Islam di masa lalu. Di masa Dinasti Daulah Bani Abbasiyah, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi sumber pendapatan negara. Ketika itu, wakaf yang pada awalnya meliputi berbagai aset semacam Masjid, Mushalla, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan, tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dan lainnya pada akhirnya bisa diambil manfaatnya sebagai instrumen pendapatan negara.

 

Kebiasaan di masa Dinasti Daulah Bani Abbasiyah itu diteruskan sampai sekarang di beberapa negara Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Di negara seperti Malaysia, Saudi Arabia, Mesir, Turki dan Yordania, lembaga wakaf berkembang sangat maju dan mampu memberi manfaat yang sangat besar, bukan hanya untuk umat di negeri itu, melainkan juga umat di negeri lain karena ternyata ia mampu menjadi sarana pemberdayaan ekonomi yang cukup memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti pengembangan kegiatan dalam memajukan kebudayaan Islam, pemberian beasiswa, pembiayaan terhadap berbagai kegiatan penelitian, penyediaan fasilitas kesehatan dan lain-lain.

 

Di negara-negara seperti tersebut di atas, wakaf tidak hanya berupa tanah atau bangunan, tetapi juga berupa investasi saham, uang, real estate, tanah pertanian, flat, tempat ibadah dan pendidikan, yang kesemuanya dikelola dengan baik dan produktif, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

 

Mesir

 

Pada tahun 1971 pemerintah Mesir membentuk Badan Wakaf yang bertugas melakukan kerjasama dalam memeriksa tujuan peraturan-peraturan dan program-program pengembangan wakaf. Badan ini juga bertugas mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan perwakafan agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Badan ini juga menguasai pengelolaan wakaf dan memiliki wewenang untuk membelanjakan dengan sebaik-baiknya di mana pengembangannya sesuai dengan perundang-undangan Mesir No.80 Tahun 1971. Lebih jauh Badan Wakaf tersebut berwenang untuk membuat perencanaan, mendistribusikan hasil wakaf setiap bulan dengan diikuti kegiatan di daerah, membangun dan mengembangkan lembaga wakaf, membuat laporan serta diinformasikan hasil kerjanya kepada masyarakat.

 

Untuk mengembangkan dan mengelola harta wakaf secara lebih efektif, Badan Wakaf menitipkan hasil harta wakaf di bank-bank Islam. Di samping itu, Badan Wakaf juga berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam, bekerjasama dengan sejumlah perusahaan, membeli saham dan obligasi perusahaan penting dan memanfaatkan lahan-lahan kosong agar menjadi produktif sehingga pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional sangat bermanfaat untuk membantu kehidupan para kaum dhuafa, fakir-miskin, bahkan sampai penyediaan fasilitas kesehatan berupa rumah sakit dan obat-obatan.

 

Arab Saudi

 

Untuk mengawal kebijakan perwakafan, pemerintah Arab Saudi membentuk Majelis Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, dengan anggota terdiri dari ahli hukum Islam dari Kementerian Kehakiman, wakil dari Kementerian Ekonomi dan Keuangan, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari cendekiawan dan wartawan.

Di antara tugas dan wewenang Majelis Tinggi Wakaf Arab Saudi adalah:

 

1.     Mendata wakaf serta menentukan cara-cara pengelolaannya

2.     Menentukan kebijakan umum untuk penanaman modal, pengembangan dan peningkatan harta wakaf

3.     Mengetahui kondisi semua wakaf yang ada, ini penting dalam mencari solusi dari permasalahan wakaf yang ada

4.     Membelanjakan harta wakaf menurut syarat-syarat yang ditetapkan wakif sesuai syari’at Islam

5.     Menetapkan anggaran tahunan dan mendistribusikan hasil pengembangan wakaf sesuai standar skala prioritas

6.     Mengembangkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.

 

Pemanfaatan hasil wakaf yang utama di Arab Saudi adalah untuk memperbaiki dan membangun wakaf-wakaf yang ada agar wakaf tersebut kekal dengan tetap melaksanakan syarat-syarat yang diajukan oleh wakif. Sementara dalam pengelolaan wakaf, Arab Saudi juga melakukan praktik dengan menunjuk pengelola (nazhir). Di mana nazhir tersebut bertugas untuk membuat perencanaan dalam pengembangan harta wakaf, mensosialisasikan program yang telah disepakati, melaksanakan pendistribusian hasil wakaf kepada yang membutuhkan, memelihara dan mengawasi untuk kelanggengan aset wakaf dan membuat laporan kepada kerajaan (mamlakah) dalam pelaksanaan dan pengelolaan wakaf.

 

Yordania

 

Undang-undang yang mengatur tentang wakaf di Yordania adalah Undang-undang Wakaf Islam No.25/1947. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang termasuk dalam urusan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam adalah wakaf Masjid, madrasah, lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat pendidikan, lembaga-lembaga Syari’ah, kuburan-kuburan Islam, urusan-urusan haji dan urusan fatwa. UU Wakaf yang mengatur tentang wakaf tersebut kemudian diperkuat oleh UU Wakaf No.26/1966. Pada pasal 3 secara rinci disebutkan bahwa tujuan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam antara lain adalah sebagai berikut:

 

1.     Memelihara Masjid dan harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusannya

2.     Mengembangkan Masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhammad SAW. dengan mewujudkan pendidikan Islam

3.     Membakar semangat jihad dan menguatkannya dalam kehidupan kaum muslimin

4.     Menumbuhkan akhlak Islami dan menguatkannya dalam kehidupan kaum muslimin

5.     Menguatkan semangat Islam, menggalakkan pendidikan agama dengan mendirikan lembaga-lembaga dan sekolah untuk menghafal al-Qur’an

6.     Mensosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan Islam, melahirkan budaya baru Islam dan menumbuhkan kesadaran beragama.

 

Selain itu Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf sesuai rencana yang telah digariskan oleh Direktorat Keuangan. Pada tahun 1984, pendapatan yang dihasilkan dari pengembangan wakaf kurang lebih sebagai berikut:

1.     Hasil sewa diperkirakan mencapai 680 ribu dinar Yordania

2.     Pendapatan yang berasal dari tempat-tempat suci mencapai 120 ribu dinar Yordania

3.     Pendapatan pabrik, rumah-rumah yatim dan industri di Yerusalem mencapai 80 ribu dinar Yordania

4.     Pendapatan lain yang bermacam-macam kira-kira mencapai 160 ribu dinar Yordania.

 

Turki

 

Turki pada tahun 1925, harta wakafnya sudah mencapai tiga perempat dari luas lahan produktif di Turki. Pengelolaan wakaf di Turki di bawah Direktorat Jenderal Wakaf. Sejauh ini ada dua pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Wakaf, yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan dan sosial. Pelayanan kesehatan diberikan kepada masyarakat melalui wakaf-wakaf rumah sakit. Peran Dirjen Wakaf di Turki begitu besar dalam pengelolaan wakaf dengan terus mengembangkan harta wakaf secara produktif melalui upaya komersial dan hasilnya untuk kepentingan sosial. Upaya komersial Dirjen Wakaf Turki terhadap harta wakaf adalah dengan melakukan kerja sama dan investasi di berbagai lembaga, antara lain; Yvalik and Aydem Olive Oil Corporation, Tasdelen Healthy Water Corporation, Auqaf Guraba Hospital, Taksim Hotel (Sheraton), Turkish Is Bank, Ayden Textile Industry dan lain-lain.[10]

 

Penutup

 

Tujuan terbentuknya nazhir profesional pada dasarnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.     Meningkatkan kelayakan produksi harta wakaf hingga mencapai target ideal untuk memberi manfaat sebesar mungkin bagi tujuan wakaf dengan cara meningkatkan hasilnya dengan berusaha memperoleh sebesar mungkin hasil produksi dan investasi wakaf. Mengurangi sebesar mungkin pengeluaran dana untuk keperluan administrasi. Menghindari penyimpangan, seperti kerusakan, pencurian, penyalahgunaan amanah sekecil mungkin.

2.     Melindungi pokok-pokok harta wakaf dengan mengadakan pemeliharaan dan penjagaan yang baik dalam menginvestasikan harta wakaf dan mengurangi resiko investasi. Perawatan pokok harta wakaf dapat dilakukan dengan mengkonsentrasikan pada investasi jangka panjang, dengan cara membuat berbagai bentuk investasi dan tetap menjaga syarat-syarat dari wakif.

3.     Melaksanakan tugas distribusi hasil wakaf dengan baik, berdasar pernyataan wakif dalam akte wakaf dan berdasar pendapat fikih dalam kondisi wakaf hilang aktenya dan tidak diketahui tujuannya. Perlu diketahui kondisi orang-orang yang berhak atas manfaat wakaf secara detail.

4.     Berpegang teguh pada syarat-syarat wakif baik berkenaan dengan jenis investasi dan tujuannya maupun dengan tujuan wakaf, pengenalan obyek dan batasan tempatnya atau bentuk kepengurusan dan seluk-beluk cara nazhir bisa menduduki posisinya.

5.     Memberikan penjelasan kepada para dermawan dan mendorong mereka untuk melakukan wakaf baru dan secara umum memberi penyuluhan dan menyarankan pembentukan wakaf baru baik secara lisan maupun dengan memberi contoh keteladanan.[11]

           

Daftar Pustaka

Depag, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. 2008. Jakarta: Dir. Pemberdayaan Wakaf Kemendepag RI.

Djunaidi, Achmad dkk. 2008. Menuju Era Wakaf Produktif. Depok: Mumtaz Publishing.           

Ghozali, Moh. Syukri. Tt. Pedoman Zakat 9 Seri. Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf  Depag RI.

Majelis Wakaf dan ZIS PP. Muhammadiyah. 2010. Panduan Wakaf. Jakarta: PP. Muhammadiyah.

Qahaf, Mundzir. 2008. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Khalifa.

Qodri Azizy. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taqiyuddin al-Nabhani. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Panduan Wakaf. 2010. Jakarta: Majelis Wakaf dan ZIS PP. Muhammadiyah. 

Suhadi, Imam.1985. Hukum Wakaf di Indonesia. Yogyakarta: Dua Dimensi.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag RI. 2009


                [1] Taqiyuddin al-Nabhani. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti. Hal. 128.

                [2] Lihat Panduan Wakaf. 2010. Jakarta: Majelis Wakaf dan ZIS PP. Muhammadiyah. Hal. 25-26.

                [3] Imam Suhadi.1985. Hukum Wakaf di Indonesia. Yogyakarta: Dua Dimensi. Hal. 27.

                [4] Moh. Syukri Ghozali. Tt. Pedoman Zakat 9 Seri. Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf  Depag RI. Hal. 227.

                [5] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag RI. 2009. Hal. 7-9.

                [6] Mundzir Qahaf. 2008. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Khalifa. Hal. 171-172.

                [7] Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. 2008. Jakarta: Dir. Pemberdayaan Wakaf Kemendepag RI. Hal. 51-52.

                [8] Majelis Wakaf dan ZIS PP. Muhammadiyah. 2010. Panduan Wakaf. Jakarta: PP. Muhammadiyah. Hal. 28-29.

                [9] Qodri Azizy. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 127-128.

                [10] Achmad Djunaidi dkk. 2008. Menuju Era Wakaf Produktif. Depok: Mumtaz Publishing. Hal.. 33-40.

                [11] Mundzir Qahaf. 2008. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Khalifa. Hal. 321-322.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *