Gelar Rakornas, BWI Sampaikan Program Prioritas 2021-2024

Gelar Rakornas, BWI Sampaikan Program Priotas

Badan Wakaf Indonesia (BWI) menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) untuk menyusun langkah kerja ke depan. Khususnya melakukan transformasi perwakafan digital dan dalam bentuk uang.

Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Mohammad Nuh menyampaikan bahwa wakaf uang merupakan simbol era baru perwakafan di Indonesia. Potensinya mencapai Rp 180 triliun.

“Pertama dari sisi potensi dan kedua dari sisi fleksibilitasnya,” kata M Nuh dalam konferensi pers virtual Rakornas BWI bertajuk “Era Baru Perwakafan Nasional: Wakaf Uang dan Transformasi Digital”, pada Selasa (30/3/2021).

Nuh mengungkapkan bahwa wakaf uang dan transformasi digital menjadi kebijakan prioritas dari 2021 sampai 2024. Wakaf uang, kata Nuh, memiliki banyak kelebihan.

Sekain memiliki fleksibilitas dan potensi yang luar biasa dengan perkiraan mencapai Rp 180 triliun. Seorang wakif bisa berwakaf berapapun jumlahnya, kapanpun, dan untuk di manapun.

“Hal itu berbeda dengan wakaf tanah yang tidak memiliki sisi fleksibilitas. Karena kalau wakaf tanah, tidak mungkin kita wakaf tanah misalnya hanya 10 meter persegi. Tetapi kalau wakaf uang, itu bisa. Taruhlah, Rp 5.000, Rp 10 ribu, sekian juta, dan seterusnya, jadi sangat fleksibel,” kata Nuh.

Selain itu, nadzir juga mendapatkan kemudahan dalam pengelolaan jika yang diwakafkan itu uang. Tidak harus uang fisik tetapi bisa melalui perbankan dan kita bisa mendapatkan hasil dari uang yang sudah dikelola, baik melalui instrumen perbankan, deposito, atau instrumen keuangan, sukuk, dan lainnya.

Dari sisi mawquf alaih (orang yang menerima manfaat), juga terdapat kemudahan. Kalangan mawquf alaih di manapun berada tetap bisa mendapat manfaat meski sumber dana wakaf itu berasal dari daerah lain yang berjauhan.

“Misalnya wakaf uang dikembangkan di Jakarta, ini bisa dipakai untuk pengembangan di Papua sana,” jelas Nuh.

Prioritas selanjutnya adalah tranformasi digital. Tranformasi dari analog ke digital ini sudah menjadi keharusan saat ini. Nuh mengatakan tidak ingin urusan pengelolaan wakaf ini dianggap konvensional dan tidak bisa memanfaatkan teknologi digital.

Sehingga bukan sekadar digitalisasi, tetapi juga ingin memanfaatkan teknologi digital ini untuk menggerakkan organisasi.

“Memungkinkan yang tidak mungkin, sampai dengan transformasi tata kelola kita, dan mindset terkait pengelolaan wakaf. Karena kalau tidak migrasi ke digital, saya kira justru akan menjadi organisasi yang expired, yang kedaluwarsa,” ungkapnya.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *