Implementasi LKS dalam Pengembangan Wakaf Uang di Indonesia

Oleh Arif Zamhari, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Wakaf uang bukan hanya menjadi alternatif baru bagi umat Islam di Indonesia dalam berwakaf, tapi juga berfungsi memberikan solusi bagi upaya peningkatan kesejahteraan umat secara lebih luas.  Diperkenalkannya wakaf uang ini dalam kehidupan umat Islam di Indonesia telah menggeser paradigma lama bahwa wakaf hanya dimungkinkan terhadap benda-benda tidak bergerak seperti masjid, tanah pertanian dan tanah kuburan dan lain sebagainya. Selain itu, diperkenalkannya kembali wakaf uang ini juga telah memberikan kesempatan luas bagi setiap umat Islam dari berbagai kalangan  untuk dapat berpartisipasi menunaikan wakaf uang sekalipun tidak dalam jumlah yang besar.

Pengelolaan wakaf benda bergerak terutama wakaf uang mensyaratkan bukan hanya  pengetahuan khusus tentang manajemen pengelolaan keuangan  modern tapi juga  berbagai pengetahuan dan pengalaman tentang  usaha-usaha produktif serta bentuk investasi yang produktif yang dibenarkan secara syariah. Kemampuan ini tidak hanya harus dimiliki oleh seorang nazir tapi juga lembaga keuangan terkait sebagai instrumen penting dalam wakaf uang.  Karena itu, pengelolaan wakaf uang di Indonesia melibatkan beberapa lembaga keuangan professional yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan dana wakaf sehingga dapat dimanfaatkan secara luas bagi kesejahteraan umat Islam. Di Indonesia lembaga ini dikenal dengan sebutan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Lembaga ini secara resmi ditunjuk oleh pemerintah dan memililiki dasar hukum yang cukup kuat karena ditetapkan berdasarkan undang-undang.  

Tulisan ini secara deskriptif akan melihat peran strategis yang dapat dimainkan oleh LKS dalam pengembangan wakaf uang di Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini mencoba melihat beberapa  tantangan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan wakaf uang di Indonesia.

Selintas Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia

Sejarah Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia tidak lepas dari undang-undang yang pernah dibuat oleh pemerintah No.7 Tahun 1992. Undang-undang ini dianggap sebagai payung hukum bagi lahirnya lembaga keuangan syariah. Undang-undang ini menyebutkan kemungkinan berdirinya sebuah bank dengan sistem bagi hasil. UU ini lalu menjadi dasar lahirnya Bank Muamalat Indonesia. Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memungkinkan beroperasinya dual banking system dalam sistem perbankan nasional. Akibatnya, sejumlah  bank konvensional di Indonesia membuka divisi syariah dalam sistem pelayanan mereka kepada para nasabah. (Mustafa Edwin Nasution, 2007: 291).

Pada tahun 2005 telah berdiri 3 Bank Umum Syariah (BUS) seperti: Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Selain itu sedikitnya terdapat 19 Unit Usaha Syariah (UUS) seperti: IFI, Bukopin, Danamon, Niaga, BNI, BRI, BII, HSBC, BTN, Bank DKI, Bank Jabar, BPD Sumut, BPD Riau, BPD Kalsel, BPD Aceh, BPD NTB, BPD Kalbar, dan BPD Sumsel. Selain Unit Usaha Syariah ini, telah beroperasi 92 BPR Syariah.

Seiring dengan bertambahnya jumlah bank yang menyediakan layanan syariah, bank-bank ini juga membuka jaringan kantornya di beberapa wilayah di Indonesia. Penyebarana jaringan perkantoran di beberapa wilayah  ini tentu saja mengikuti tingkat aktifitas bisnis yang berada di wilayah-wilayah tersebut. Dewasa ini kantor-kantor bank syariah ini sudah menyebar di hampir seluruh pelosok tanah air.  

Sekalipun pada tahun 2007 jumlah BUS masih sama dengan tahun 2005 tetapi jumlah Unit Usaha Syariah meningkat menjadi 23 UUS dan 532 kantor cabang (termasuk Kantor Cabang Pembantu (KCP), Unit Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK) dan 106 BPR Syariah. Aset perbankan syariah per Mei 2007 lebih dari Rp. 29 triliun dengan jumlah Dana Pihak Ketiga mencapai Rp. 22,5 triliun. Sekalipun jumlah aset perbankan syariah baru  berkisar 1,63% dan dana pihak ketiga yang terhimpun baru mencapai 1,69% dari total aset perbankan nasional (per 2007), namun diprediksikan pertumbuhan dan perkembangannya sangat menjanjikan di masa yang akan datang. (Syafi’i Antonia dan S.Rusydiana, 2010: 46-57). Tiga tahun berikutnya, menurut data statistik yang dirilis Bank Indonesia, pada akhir tahun 2010, jumlah bank umum syariah (BUS) yang beroperasi  di Indonesia telah mencapai 11 bank dan 23 unit usaha syariah serta 150 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). (Bambang Rianto Rustam, 26 Maret 2011).

Meningkatnya jumlah lembaga keuangan syariah beberapa tahun belakangan menunjukkan betapa prospek lembaga keuangan ini sangat menjanjikan di masa yang akan datang. Setidaknya terdapat dua faktor yang melatar belakangi peningkatan jumlah lembaga keungan syariah beberapa tahun terakhir di Indonesia.

Faktor pertama adalah faktor eksternal. Faktor ini  berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang terjadi di luar negeri. Beberapa negara di luar negeri baik yang mayoritas penduduknya muslim maupun tidak telah mengembangkan sistem ekonomi syariah. Maraknya usaha pengembangan kegiatan ekonomi syariah di beberapa negara ini sangat sejalan dengan munculnya kesadaran tentang pentingnya memiliki identitas baru perekonomian  negara mereka. Kesadaran baru inilah yang pada gilirannya memberikan inspirasi bagi para pelaku ekonomi di tanah air untuk mengembangkan sistem ekonomi yang sesuai dengan identitas mayoritas umat Islam Indonesia.

Sedangkan faktor internal yang menjadi pemicu berkembangnya lembaga keuangan syariah di Indonesia adalah terkait dengan kondisi sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Islam. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Kenyataan sosiologis inilah yang mendorong para cendekiawan dan praktisi ekonomi Muslim Indonesia untuk mendirikan lembaga keuangan yang sesuai dengan identitas keberagamaan mereka.

Pertimbangan bisnis juga menjadi pendorong tumbuhnya lembaga keuangan syariah di Indonesia. Pangsa pasar muslim yang sangat besar di Indonesia menjadi pertimbangan bisnis tersendiri bagi para pelaku ekonomi untuk mengembangkan dan menyediakan layanan ekonomi yang sesuai dengan prinsip keyakinan umat Islam.

Faktor politik Indonesia  yang kondusif  turut  memicu perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Harmonisasi hubungan antara Islam dan negara di penghujung milineum memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi tumbuhnya lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Selain faktor politik, faktor keberagamaan masyarakat juga menjadi pendorong berdirinya lembaga keuangan syariah di Indonesia. Munculnya kelas menengah muslim perkotaan yang religius dan terdidik menjadi daya tarik tersendiri bagi lembaga kuangan syariah di Indonesia. Kesadaran keberagamaan kelompok ini bukan hanya dalam wilayah ibadah mahdlah tapi juga menuju kesadaran bahwa keberagamaan harus meliputi segala aspek kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi.

Daya tahan sistem ekonomi syariah terhadap terpaan badai krisis ekonomi tahun 1997-1998 menjadi faktor pendorong berdirinya lembaga keuangan syariah di Indonesia. Ketika industri keuangan di Indonesia rontok akibat terpaan badai krisis keuangan, bank syariah terbukti mampu bertahan di tengah terpaan badai krisis ekonomi yang meluluh lantakkan hampir semua bank nasional maupun internasional.  

Peran Lembaga Keuangan Syariah Dalam Wakaf Uang di Indonesia

Peran LKS sangat strategis terutama dalam pengembangan wakaf uang di Indonesia. Peran strategis ini salah satunya terkait dengan status hukum lembaga ini karena ditunjuk langsung oleh Menteri Agama sebagai lembaga berwenang dalam penerimaan wakaf uang. Hal ini disebutkan dalam UU No. 41 tahun 2004 Pasal 28 tentang wakaf yang berbunyi: ‘Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri’. Dalam kaitan ini menteri memiliki wewenang untuk  menunjuk lembaga keuangan syariah tertentu yang memenuhi persyaratan atas saran dan pertimbangan dari Badan Wakaf Indonesia (Pasal 24 ayat 1 Penjelasan).

Sekalipun menteri berwenang menunjuk lembaga keuangan syariah sebagai penerima wakaf, tidak semua LKS dapat menjadi penerima wakaf uang umat Islam. Undang-undang No. 41 tahun 2004 memberikan syarat-syarat tertentu bagi LKS yang dapat menerima dana wakaf uang masyarakat. Persyaratan-persyaratan ini meliputi:  (a). LKS harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri, (b). melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badah hukum, (c). memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia, (d). bergerak di bidang keuangan syariah dan (e). memiliki fungsi titipan (wadi’ah). Persyaratan yang ketat ini dimaksudkan agar dana wakaf uang yang terkumpul di lembaga keuangan syariah ini dapat dijamin kelestarian dan keamanannya.

Selain status hukum yang kuat, peran strategis LKS dalam pengembangan wakaf uang di Indonesia  terutama berkaitan dengan jejaring yang dimiliki oleh lembaga ini. Sebagian besar Lembaga Keuangan Syariah  memiliki jaringan kantor cabang serta fasilitas ATM yang banyaki, SMS banking, Internet Banking, Phone Banking, dan fasilitas auto debet. Luasnya jaringan dan fasilitas bank ini pada gilirannya  memudahkan umat Islam di seluruh pelosok Indonesia untuk dapat berpartisipasi dalam menunaikan ibadah wakaf uang.

Selain jaringan yang luas, LKS di Indonesia juga memiliki sumber daya manusia handal yang dapat menunjang tecapainya pengumpulan dana wakaf umat secara optimal. Selain itu, dana-dana yang terkumpul dalam lembaga keuangan syariah ini umumnya di bawah jaminan Lembaga Penjamin Simpanan sehingga dana wakaf uang yang terkumpul dapat terjamin keamanannya. (Mulya E. Siregar, 2011: 49-59). Peran strategis ini menumbuhkan optimisme baru betapa LKS -PWU dapat menopang gerakan wakaf uang produktif di Indonesia.

Secara praktis, LKS memiliki peran strategis dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai yang diamanatkan oleh wakif kepada nazir. Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS atau instrumen keuangan syariah. Investasi disini tentu saja dalam pengertian bahwa dana yang dipercayakan kepada Bank Syariah atau UUS itu harus diinvestasikan berdasarkan akad syariah seperti mudharabah atau akad lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah. Sementara,  pengelolaan dana wakaf uang melalui produk-produk di luar produk syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah. Dengan cara ini dana wakaf uang umat yang terkumpul dapat terjamin keamanannya serta memberikan rasa aman bagi para wakif.  

Beberapa Tantangan dan Peluang LKS Dalam Implementasi Wakaf di Indonesia

Sebagai lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah untuk mensukseskan gerakan wakaf uang di Indonesia, LKS-PWU memiliki tanggung jawab yang tidak kecil dalam menentukan sukses tidaknya gerakan wakaf uang di Indonesia. Sesuai dengan Undang-undang, LKS-PWU diberi mandat oleh pemerintah salah satunya adalah untuk mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang. (PP No. 442 Tahun 2006 dan UU No. 41 Tahun 2004, Pasal 25). Tugas ini tentu saja tidak hanya sebatas pada pemberitahuan lembaga ini sebagai penerima wakaf, tetapi juga memberikan tanggungjawab untuk memasyarakatkan wakaf uang kepada masyarakat secara lebih luas melalui sarana dan strategi yang efektif.  

Bersama dengan Badan Wakaf Indonesia, LKS-PWU dapat melakukan kerja produktif untuk dapat mesukseskan program wakaf uang tersebut. Sejauh ini kerjasama LKS dan BWI sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi kerjasama ini perlu ditingkatkan dalam bentuk yang lebih konkrit dan praksis sehingga gerakan wakaf uang bisa menjangkau sasaran wakif yang lebih luas yang pada gilirannya dapat menggalang dana wakaf uang dalam jumlah yang lebih besar.

Sejauh ini beberapa LKS-PWU yang ditunjuk Menteri Agama RI  pada tanggal 31 Juli 2008 penerima wakaf uang di Indonesia ini belum bisa  memaksimalkan pengumpulan dana wakaf dari para nasabah LKS maupun dari para calon wakif dalam jumlah yang besar. Hal ini bisa dilihat dari jumlah wakaf uang yang terkumpul selama kurun waktu lebih dari dua tahun sebanyak Rp. 2.060.228.545 (Per September 2010). Menurut penuturan salah satu perwakilan LKS kepada penulis, jumlah dana wakaf uang yang terkumpul ini sebenarnya dapat ditingkatkan mengingat gerakan wakaf uang  di Indonesia sudah berjalan hampir lebih dari dua tahun. Kenyataan ini tentu saja menimbulkan  pertanyaan kenapa LKS bersama dengan BWI belum bisa memaksimalkan pengumpulan dana wakaf uang dalam jumlah yang lebih besar. Untuk menjawab pertanyaan ini, analisa komprehensif perlu dilakukan terutama berkaitan dengan beberapa tantangan (challenges) yang selama ini dihadapi LKS dalam mengimplementasikan gerakan wakaf uang di Indonesia. Dalam kaitan ini penulis mencoba untuk mengurai beberapa tantangan yang dihadapi LKS dalam implementasi wakaf uang di Indonesia dengan melakukan wawancara aktif dengan beberapa perwakilan LKS-PWU yang ditunjuk pemerintah.

Tantangan pertama adalah terkait dengan minimnya jumlah nazir yang diperlukan dalam pelaksanaan wakaf uang di Indonesia. Memang harus diakui, jumlah nazir yang memperoleh sertifikasi dari BWI  sangat minim jumlahnya. Minimnya jumlah nazir ini pada gilirannya mengurangi peran mereka dalam menggalang wakaf uang dari masyarakat. Selama ini nazir-nazir potensial yang sudah lama berkecimpung dalam gerakan wakaf uang di Indonesia belum memperoleh sertifikasi dari BWI. Padahal jika nazir-nazir besar ini memperoleh sertifikasi dari BWI, bukannya tidak mungkin jumlah uang wakaf yang dihimpun akan bisa jauh lebih besar.

Nazir-nazir besar ini sangat potensial dalam mensukseskan gerakan wakaf uang di Indonesia. Mereka umumnya telah memiliki sejumlah unit usaha produktif yang didanai dari wakaf uang yang telah mereka kumpulkan. Sejauh ini unit-unit usaha ini telah memberikan kontribusi besar bagi upaya peningkatan kesejahteraan umat. Unit-unit usaha produktif ini tentu saja akan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk ikut mewakafkan uangnya tanpa harus khawatir uang yang mereka wakafkan akan hilang. Oleh karena itu, terkait dengan minimnya nazir ini, baik LKS maupun BWI harus lebih proaktif mendekati dan menginventarisir nazir-nazir potensial untuk dapat memiliki sertifikat  sebagai nazir yang tergabung dalam Badan Wakaf Indonesia..

Tantangan kedua adalah sulitnya LKS-PWU menjelaskan kepada para calon wakif tentang proyek konkrit yang dapat didanai dari hasil uang wakaf. Dengan kata lain, selama ini belum ada proyek andalan yang bisa ditawarkan LKS-PWU kepada para calon wakif. Harus diakui proyek konkrit dan andalan merupakan salah satu sarana untuk menarik para calon wakif sehingga mereka mau menginvestasikan uang wakaf mereka sambil meraup pahala akhirat. Para calon wakif tentu saja akan merasa yakin dan mantap jika dana uang yang mereka wakafkan akan diivestasikan untuk pembiayaan proyek-proyek yang konkrit.  

Terkait dengan tantangan kedua ini, langkah awal yang dapat dilakukan BWI dan LKS-PWU adalah upaya untuk memprioritaskan  proyek yang sudah ada untuk menjadi proyek andalan. Baik BWI maupun LKS-PWU dapat saling mempromosikan proyek andalan  ini sehingga para calon wakif dapat mengerti kemana uang wakaf mereka akan diinvestasikan.

Tantangan ketiga yang dihadapi LKS-PWU adalah belum adanya kesamaan pemahaman antara LKS-PWU dan BWI serta Kemenag tentang beberapa poin dalam  Undang-Undang tentang Wakaf serta aturan pelaksanaannya. Akibatnya, pihak LKS-PWU kerap kali merasa ragu untuk melangkah dan menentukan kebijakan tentang wakaf uang. Sebagai contoh LKS-PWU di satu sisi menganggap BWI sebagai lembaga yang berwenang mensosialisasikan wakaf uang di Indonesia sementara  di sisi lain, BWI menganggap LKS-PWU selain sebagai lembaga tempat penerima wakaf uang juga sebagai lembaga yang berwenang mensosialisasikan wakaf uang. Hal ini terjadi akibat cara pandang yang berbeda tentang bunyi pasal 25 (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang no 41 Tahun 2004 tentang Wakaf) bahwa LKS-PWU bertugas mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai lembaga penerima wakaf uang. Dalam pandangan LKS, pasal ini memberikan mandat kepada LKS untuk mengumumkan keberadaan LKS hanya sebagai lembaga penerima wakaf uang. Tentu saja tugas ini bagi kalangan LKS tidak termasuk tugas untuk mensosialisasikan serta mengkampanyekan gerakan wakaf uang kepada masyarakat. (Wawancara dengan  perwakilan LKS-PWU, 3 April 2011). Sebaliknya, menurut para pengurus BWI, LKS-PWU selain bertugas mengumumkan keberadaannya sebagai lembaga penerima wakaf uang, juga berkewajiban mensosialisasikan wakaf uang kepada masyarakat luas. (Wawancara dengan pengurus BWI, 12 April 2011).  

LKS PWU juga belum memiliki kesamaan pandangan tentang format pelaporan.  LKS PWU masih merasa kebingungan apakah mereka mengikuti pelaporan dengan mengacu pada format laporan BWI atau mengikuti format pelaporan Kemenag RI.

Sekalipun potensi wakaf uang umat Islam Indonesia sangat besar, tapi  jika tidak didukung pemahaman yang sama tentang regulasi yang mengaturnya, maka gerakan wakaf uang ini menjadi tidak  berjalan sesuai dengan misi awal dicanangkannya  gerakan wakaf uang di Indonesia. Tidak adanya  kesamaan pandangan terhadap peraturan wakaf ini boleh jadi karena kurangnya pertemuan intensif yang melibatkan institusi LKS-PWU dengan lembaga wakaf terkait seperti BWI dan Kemenag.  Oleh karena itu, pertemuan intensif bulanan yang selama ini dilakukan antara BWI, LKS-PWU dan Kemenag RI harus diagendakan kembali. Tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi dan sinkronisasi tentang aturan-aturan perwakafan di tanah air serta membahas beberapa langkah strategis untuk mensosialisasikan wakaf uang kepada masyarakat luas. Sinkronisasi ini penting untuk menghindari beberapa aturan yang tumpang tindih (overlapping).Selain itu, pertemuan-pertemuan ini juga diperlukan untuk membahas pengembangan dan pengelolaan wakaf uang sehingga aset-aset wakaf yang terkumpul dapat digunakan secara lebih produktif.

Tantangan keempat adalah kurangnya sosialisasi wakaf uang di masyarakat. Kurangnya sosialisasi wakaf uang ini ditengarai menjadi penyebab kurangnya pemahaman dan kebingungan para calon wakif ketika mereka harus berwakaf uang. Selain itu, minimnya wakaf uang yang terkumpul boleh jadi akibat minimnya sosialisasi yang dilakukan baik oleh LKS-PWU maupun BWI.  Menurut penuturan salah seorang pengurus BWI, minimnya sosialisasi wakaf uang ini karena minimnya dana sosialisasi yang tersedia. Dana sosialisasi yang tersedia tidak cukup untuk melakukan sosialisasi wakaf uang melalui media-media modern yang memang membutuhkn dana yang tidak sedikit.  

Dalam kaitan dengan tantangan ini, BWI dan LKS-PWU perlu melakukan sinergi dalam melakukan sosialisasi wakaf uang kepada masyarakat melalui berbagai cara dan media. Sinergi ini dimaksudkan untuk dapat membagi tugas dan mengurangi dana sosialisasi yang dibutuhkan. Tugas sosialisasi wakaf uang ini harus disadari bukan hanya kewajiban BWI tapi juga kewajiban LKS-PWU.

Sosialisasi yang dilakukan oleh LKS PWU dan BWI juga terkait dengan informasi kepada publik mengenai jumlah wakaf uang yang sudah terkumpul dan dialokasikan kemana uang wakaf itu. Dengan cara ini, selain dapat mencerminkan transparansi pengelolaan wakaf uang juga menjadikan masyarakat lebih yakin dan mantap memberikan wakaf uangnya.    

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Rianto Rustam, “Restrukturasi Pembiayaan Syariah”, Harian Umum   Republika, Sabtu, 26 Maret 2011
Kementerian Agama RI, Dirjend Bimbaga Islam, Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
Mustofa Edwin Nasution et al., “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”, Kencana Prenada Media Group, Maret 2007.
Syafi’i Antonia dan S.Rusydiana, “Peranan Ekonomi Syaria’h dalam Pembangunan Daerah” dalam Harmoni, Vol. IX, No. 33, Januari-Maret 2010.
Mulya E. Siregar, “Peranan Perbankan Syariah dalam Implementasi Wakaf Uang”, dalam  Al-Awaqaf, Volume IV, Nomor 04, Januari 2011.
Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 25.
Laporan Penerimaan Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia September 2010.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *